Rumitnya Menambal Cadangan Gas Nasional

123rf
Ilustrasi. Indonesia diproyeksi mengalami defisit gas pada 2023. Pemerintah dan SKK Migas sedang berupaya menambal defisit itu.
17/9/2020, 19.50 WIB

"Informasi bahwa kontrak LNG dengan Jepang tidak diperpanjang, saya senang sekali. Mari memanfaatkannya untuk dalam negeri,” kata Komite BPH Migas Hari Pratoyo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pada Selasa lalu.

Namun, pengamat energi sekaligus pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat pemanfaatan itu baru bakal terjadi kalau negara ini sudah memiliki infrastruktur yang siap. Pemerintah juga perlu membuat regulasi agar harga gas menjadi kompetitif.

Saat ini infrastruktur gas di Indonesia belum memadai. Hal ini terlihat dari belum optimalnya pipa-pipa yang menyambungkan sumber pasokan ke titik konsumen. Padahal, ketersediaan infrastruktur dengan harga gas saling berkaitan. Jika infrastruktur tidak memadai, sulit memasarkan gas ke domestik dengan harga kompetitif.

Penyelesaian masalah harga gas sebaiknya tidak selalu mengedepankan dengan pendekatan pengaturan ke harga tertentu. Tetapi lebih dengan membangun struktur pasar domestik yang lebih optimal dan efisien. Salah satunya dengan percepatan pembangunan infrastruktur gas.

Namun, untuk merealisasikan itu semua membutuhkan waktu yang cukup panjang. "Kalau infrastruktur seperti jalan atau kelistrikan bisa dipercepat, hal yang sama mestinya juga bisa diterapkan untuk infrastruktur gas," ujarnya.

Dengan semua kondisi itu, Pri Agung berpendapat peningkatan cadangan gas nasional seharusnya tak sebatas masalah kontrak penjualan tidak diperpanjang. “Upaya peningkatan cadangan adalah melalui investasi, baik untuk eksplorasi maupun produksi dan pengembangan," kata dia.

BPH Migas menyadari akan persoalan tersebut. Regulator yang bergerak di sektor hilir migas ini pun berkeinginan untuk menggenjot pembangunan infastruktur gas. Termasuk di dalamnya, pembangunan terminal LNG dan melakukan pemerataan pengembangan jaringan gas bumi atau jargas di Indonesia.

Persoalan Harga Gas

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut, berdasarkan data yang ada, tren konsumsi dan alokasi gas untuk domestik memang terus meningkat. Namun, yang masih menjadi catatan selama ini, yakni persoalan harga.

Harga gas yang diekspor tentunya akan berbeda untuk pasar domestik. Karena itu, apabila pemanfaatan LNG Bontang diperuntukkan ke pasar domestik maka pemerintah perlu mencari solusi yang terbaik. "Hal ini tentu yang harus diformulasikan bagaimana solusi terbaiknya," ujarnya.

Akhir tahun ini menjadi masa penentuan bagi proyek LNG Bontang di Kalimantan Timur. Pasalnya, WBX Jepang dikabarkan tidak akan memperpanjang kontrak yang sudah terjalin hampir 50 tahun.

Kyushu Electric Power Co menjadi satu-satunya perusahaan dari konsorsium WBX yang masih akan membeli tiga kargo LNG hingga 2022. Toho Gas Co memutuskan tidak memperpanjang kontrak. Empat perusahaan lain, yaitu Chubu Electric Co, Kansai Electric Power Co, Nippon Steel Corp, dan Osaka Gas Co Ltd, kemungkinan besar melakukan langkah serupa.

Meski begitu, SKK Migas memastikan gas alam cair dari Kilang Bontang masih memiliki pasar, meskipun ditinggalkan WBX pada tahun ini. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan Shell sudah menandatangani persetujuan membeli 25 kargo hingga 2025. Sebanyak 13 kargo LNG Bontang tahun ini disalurkan ke PT Nusantara Regas, anak perusahaan Pertamina.

Kepergian WBX, menurut Susana, karena konsorsium sudah menanamkan banyak komitmen di proyek minyak dan gas (migas) lainnya. “Karena kebutuhannya terpenuhi, mereka melepas beberapa kontrak. Salah satunya di Bontang,” ucapnya.

Ia mengatakan kilang yang sudah beroperasi hampir 50 tahun tersebut sudah mengalami penurunan produksi. Pemerintah dalam jangka menengah berencana lebih fokus menetapkan pasar potensial ketimbang mencari pengganti WBX.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan