Pengembangan Blok Tuna, Perairan Natuna, memasuki babak baru. Perusahaan migas milik pemerintah Rusia, Zarubezhneft, telah mengakuisisi 50% hak partisipasi Premier Oil. Akuisisi ini dilakukan melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd.
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menyebut langkah ini membawa angin segar bagi investasi domestik. “Kami menyambut gembira hal ini. Pasalnya, bolak-balik Premier Oil mengatakan butuh partner untuk berbagi risiko mengembangkan Blok Tuna,” kata Susana kepada Katadata.co.id, Senin (26/10).
Potensi migas Indonesia, menurut dia, masih menarik bagi investor. Namun, selama dua tahun terakhir angka investasinya belum menggembirakan. Badan pengelola hulu migas itu pekan lalu menyebut angka realisasi investasinya per 30 September baru US$ 6,9 miliar (sekitar Rp 101,3 triliun).
Targetnya turun dari US$ 13,8 miliar sepanjang tahun ini menjadi hanya US$ 11,1 miliar. Penurunan harga minyak dan gas alam cair (LNG) dunia di tengah pandemi Covid-19 berdampak pula terhadap target investasi.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat masuknya perusahaan asal Rusia di sektor hulu migas sangat positif. Kiprah Negeri Kremlin di sektor ini tidak perlu diragukan lagi. Rusia kini produsen utama migas dunia yang sejajar dengan Amerika Serikat dan Arab Saudi. Rata-rata produksinya di kisaran 10 juta hingga 12 juta per hari.
Selama ini memang investasi dari negara itu ke Indonesia, terutama untuk sektor hulu migas, belum intensif. Salah satu penyebabnya, AS lebih dulu mendominasinya ketika Orde Baru mulai berkuasa. Nah, Rusia dan AS hubungannya kerap panas-dingin sejak era Perang Dingin.
Situasi sekarang sudah berbeda. Pengaruh besar dunia tak lagi semata kekuatan AS dan Rusia. Saat ini ada pula Tiongkok yang memiliki perekonomian terbesar kedua di dunia.
Sebagai negara luas dengan penduduk besar, Indonesia dapat memainkan peran geopolitik migas di kawasan Asia Tenggara. Penerapannya memakai prinsip politik luar negeri bebas aktif. “Dengan membuka investasi kepada semua pihak, tidak ada yang kemudian dapat mengklaim lebih memiliki pengaruh ke Indonesia,” ujar Pri Agung.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin pun berpendapat serupa. Masuknya Rusia dalam sektor hulu migas nasional memiliki prospek cerah. Selain untuk mengembangkan gairah sektor migas nasional, posisi RI di Kepulauan Natuna pun menguat.
Apalagi Russia terkenal sebagai sekutu dekat Tiongkok. Kehadirannya dapat membantu mencegah intervensi Beijing di Laut Natuna. "Untuk memperkuat posisi kita di Natuna adalah membangun sebanyak mungkin infrastruktur di daerah tersebut," ujarnya.
Perairan Natuna posisinya berdekatan dengan Laut Cina Selatan. Di antara negara-negara yang memiliki perbatasan di perairan itu, Tiongkok merupakan negara dengan kekuatan personel dan anggaran militer terbesar. Menurut data Bank Dunia, Negara Tirai Bambu mengalokasikan US$ 250 miliar untuk militernya, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Eskalasi hubungan antara Indonesia dan Tiongkok beberapa kali meningkat di wilayah itu. Pemicunya, armada Tiongkok mengawal kapal nelayannya melakukan illegal fishing di perairan Natuna. Padahal, perairan tersebut masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tapi Beijing berpendapat sebaliknya.
Posisi perairan itu sangat penting bagi Tiongkok. Menurut data ChinaPower, Tiongkok menjadi eksportir terbesar yang melewati Laut Cina Selatan. Dana yang berhasil Beijing kantongi mencapai US$ 874 miliar atau sekitar Rp 12,2 ribu triliun pada 2016. Korea Selatan dan Singapura menyusul dengan hasil ekspor masing-masing US$ 249 miliar dan US$ 214 miliar.
Kiprah Zarubezhneft di Laut Cina Selatan
Sebagai informasi, Blok Tuna berada di lepas pantai Laut Natuna, sebelah selatan Laut Cina Selatan, dengan kedalaman sekitar 110 meter. Kontrak bagi hasilnya berlaku sejak 21 Maret 2007 dengan Premier Oil sebagai operator dan memegang 100% hak partisipasinya.
Kegiatan akuisisi seismik dua dimensi dan tiga dimesin telah berlangsung. Perusahaan asal Inggris itu juga telah melakukan pengeboran empat sumur eksplorasi, yaitu Gajah Laut Utara-1, Belu Laut-1, Kuda Laut-1, dan Singa Laut-1. Semua komitmen eksplorasi telah terpenuhi.
Perusahaan menemukan hidrokarbon di sumur Kuda Laut-1 dan Singa Laut-1 yang strukturnya bersebelahan. Keduanya kemudian bernama Lapangan Tuna, dengan cadangan 104 juta barel setara minyak (MMBOE). Gas mendominasi temuan itu dengan kandungan karbondioksida kurang dari 2%.
Rencananya, pengembangan Lapangan Tuna akan memakai fasilitas produksi milik Vietnam. Premier Oil tak bisa memakai fasilitas yang ada di perairan Indonesia karena wilayah kerja terdekat, yaitu Natuna Sea Block A, berjarak sekitar 385 kilometer.
Premier Oil telah menandatangani nota kesepahaman atau MoU penjualan gas Blok Tuna kepada perusahaan migas asal Vietnam, PetroVietnam. Penandatanganan kedua belah pihak dilakukan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) 2017 di Da Nang.
Masuknya Zarubezhneft di Blok Tuna juga semakin memperkuat posisinya di Laut Cina Selatan. Melansir dari situs resminya, perusahaan telah beraktivitas di Vietnam sejak 1981 melalui perusahaan patungan dengan PetroVietnam, bernama Vietsovpetro. Produksi awal dari lapangan lepas pantainya melebihi 180 juta ton minyak dan memberikan pemasukan sebesar US$ 8 miliar untuk Rusia.
Perusahaan patungan ini hingga sekarang menjadi pemain besar bisnis migas lepas pantai di Vietnam. Pada 2002, Vietsovpetro berhasil memompa 13,5 juta ton minyak mentah, hampir 80% dari produksi keseluruhan Vietnam.
Dalam melakukan kegiatannya, Zarubezhneft dikendalikan oleh Moskow dan fokus pada pengembangan dan pengoperasian ladang migas di luar Rusia. Proyek perusahaan lainnya berlokasi Kuba, Bosnia Herzegovina, Kroasia, Yordania, dan Uzbekistan.
Nasib Proyek Migas Rusia di Indonesia
Meski tak dominan, Rusia sebelumnya juga pernah mendekati Indonesia di sektor migas. Salah satunya melalui Pertamina. Pada akhir 2016, Pertamina sempat mengincar hak kelola lapangan migas di Rusia. Langkah ini sebagai bagian kerja sama pembangunan kilang minyak di Tuban, Jawa Timur. Perusahaan pelat merah itu menggandeng perusahaan migas asal Rusia, Rosneft Oil Company.
Dalam kesepakatan kerangka kerja sama atau framework agreement, Rosneft mendapat kesempatan membangun Kilang Tuban. Sebaliknya, Pertamina dapat mengelola blok migas di Rusia.
Namun pada pertengahan 2017, Pertamina akhirnya batal mengakuisisi dua blok migas di Rusia. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan penghitungan aset antara Pertamina dan Rosneft.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman enggan berkomentar. Untuk pekembangan Kilang Tuban, ia memastikan prosesnya masih tetap berjalan.
Perusahaan sedang melaksanakan beberapa pekerjaan sesuai rencana. Misalnya, pelaksanaan studi basic engineering design (BED), melanjutkan land clearing dan restorasi pantai. "Juga penyelesaian pengadaan lahan masyarakat yang diestimasikan sampai akhir tahun ini," kata dia.
Proses pembebasan lahan targetnya dapat selesai pada akhir tahun ini. Dengan begitu, pembangunan Kilang Tuban rampung pada 2026. "Semua pekerjaan masih tetap berjalan dengan protokol Covid-19," ujarnya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelumnya memasukkan proyek Kilang Tuban ke dalam daftar Rp 708 triliun investasi mangkrak. Pasalnya, Pertamina dan Rosneft tak kunjung memulai pembangunan proyek tersebut meski kerja sama telah terjalin sejak lama.
Beberapa penyebab mangkraknya pembangunan kilang Tuban yaitu kendala pembebasan lahan, perizinan, hingga penyelesaian kontrak. BKPM pun mengupayakan sejumlah langkah penyelesaian lahan di Kabupaten Tuban sejak 2019, dengan menggandeng pemerintah provinsi Jawa Timur. Sampai dengan Mei 2020, BKPM mencatat pembebasan lahan proyeknya sudah mencapai 92% dari total 841 hektare.
Kendala Pembangunan Kilang Tuban
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kerja sama antara Pertamina dan Rosneft di proyek Kilang Tuban cukup rumit. Banyak persoalan yang mesti diselesaikan. Misalnya, perihal masalah total biaya pembangunan, pasar, supply crude, dan BEP. "Jadi saya kira perlu segera duduk bersama kembali agar bisa berjalan," ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Pertamina akan sulit menyelesaikannya pada 2026. Ia pun memproyeksikan realisasi Kilang Tuban akan molor tiga atau empat tahun. Dengan asumsi, semua permasalahan bisa diselesaikan paling lambat pada semester pertama tahun depan.
Perkiraannya, Indonesia akan terus melakukan impor BBM dalam jumlah besar. Belum lagi ditambah dengan impor LPG. Kebutuhan kilang untuk memproses minyak dan terintegrasi dengan petrokimia sangat dibutuhkan. “Sampai 2030, shifting energy (dari fosil ke energi terbarukan) di dalam negeri masih belum terlalu besar untuk kendaraan listrik," ujarnya.
Chief Excutive Officer PT Kilang Pertamina Internasional Subholding Refining and Petrochemical Ignatius Tallulembang beberapa waktu lalu menyebut bisnis kilang minyak membutuhkan investasi besar dan jangka panjang.
Untuk satu kilang minyak yang terintegrasi dengan industri petrokimia paling tidak membutuhkan pembiayaan sebanyak US$ 10 milliar hingga US$ 16 milliar. “Di grassroot refinery (GRR) Tuban, kami butuh investasi sebesar itu,” ujarnya.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Soerjaningsih mengatakan hal yang sama. Karena itu, pemerintah mendorong swasta untuk berinvestasi di bisnis downstream atau hilir migas sejak 2001.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang minyak dalam negeri. Dalam beleid ini, Pertama bertugas melaksanakan proyek hilir migas itu.
Untuk mengakselerasi pelaksanaannya, pemerintah lalu menerbitkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang fasilitas proyek strategis nasional atau PSN. Pembangunan kilang termasuk di dalamnya dengan harapan pemerintah bakal memfasilitasi perizinan maupun non-perizinan yang menghambat.