Misi Mengganti Wujud Pembangkit Fosil Tua untuk Capai Bauran Energi

123RF.com/tomwang
Ilustras. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubah pembangkit listrik fosil tua, seperti PLTU dan PLTD, menjadi energi baru terbarukan atau EBT.
27/11/2020, 15.48 WIB

Pembangkit listrik bertenaga fosil tua akan berganti rupa. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubahnya menjadi energi baru terbarukan atau EBT.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan penggantian sejumlah pembangkit tersebut saat ini masih dalam tahap kajian. Pemerintah saat ini masih menyiapkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk tahun 2021-2030. "Januari 2021 mulai berlaku," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (27/11).

Selain untuk mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025, penggantian pembangkit juga dipicu pasokan listrik di Jawa yang mengalami surplus. “Mungkin kelebihannya 50% kalau semua pembangkit fosil dioperasikan,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya kemarin.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, jumlah pembangkit listrik tenaga diesel alias PLTD yang dioperasikan PLN saat ini mencapai 5.200 unit. Total kapasitasnya 2.600 megawatt (MW). Pemerintah berencana mengubah pembangkit jenis ini yang berusia di atas 15 tahun.

Lalu, sejumlah pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara juga bakal diganti. Banyak PLTU tua di Indonesia yang masih tetap beroperasi hingga berumur 36 tahun.

Opsi lainnya yakni mempertahankan PLTU namun melalui metode co-firing dengan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi (campuran) batu bara. Pemerintah pun telah menguji coba 30% hingga 35% metode ini tanpa ada gangguan di pembangkit. "Masih lakukan kajian, apakah PLTU dapat diganti, misalnya dengan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS," ujar Jisman.

Ia mengatakan harga listrik dari energi baru terbarukan sudah mulai turun sehingga dapat bersaing dengan energi fosil. Harapannya, kehadiran pembangkit listrik ramah lingkungan tidak akan membebani biaya pokok penyediaan atau BPP listrik PLN.

PLTU Suralaya, Banten. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Tantangan Pembangkit EBT

Tantangan dalam mengembangkan pembangkit energi terbarukan adalah penentuan lokasi. Letaknya yang tersebar di berbagai wilayah sehingga beberapa proyek perlu membangun sambungan transmisi baru. Dalam proses pembangunan itu juga kerap mendapat penolakan dari masyarakat setempat.

Kendala lainnya adalah pinjaman dalam negeri yang terbatas. Begitu pula dengan infrastruktur, khususnya di wilayah Indonesia timur. Selain itu, pembangkit ramah lingkungan sifatnya intermittent alias pasokan listriknya kontinu. “Ada solusinya, dengan memakai baterai. Mudah-mudahan ke depan harga listrik EBT turun meskipun ada biaya baterai,” ujar Jisman.

Pandemi Covid-19 telah berdampak signifikan ke permintaan dan konsumsi listrik. Pemerintah sedang merevisi penambahan pembangkit dalam RUPTL 2019-2028.

Dalam rencana lama, penambahan pembangkit dalam satu dekade ke depan mencapai 56,4 gigawatt (GW). Jumlah ini akan berkurang 10 gigawatt sampai 15 gigawatt dalam RUPTL 2021-2030.

Pembangkit EBT juga turut mengalami penyesuaian dan dikurangi jumlahnya dari semula 16,7 gigawatt menjadi sekitar 14,4 gigawatt. "Mungkin akan berkurang tapi tetap mempertahankan angka bauran energi 23% di 2025," katanya.

PLN akan sebelumnya berencana mengganti 200 megawatt pembangkit listrik tenaga diesel yang sudah berusia di atas 20 tahun dengan tenaga surya (PLTS) plus dan baterai. Penggantiannya akan mulai berlangsung pada 2021 mendatang. Di tahun berikutnya kapasitas pembangkit fosil yang diganti mencapai 300 megawatt.

Sisanya masih ada 1.500 megawatt yang sedang PLN kaji untuk diubah dengan kombinasi pembangkit matahari, biomassa, dan energi terbarukan lainnya. Targetnya penambahan energi terbarukan dari program ini mencapai 2 ribu megawatt di 2025.

"Kapasitas ini cukup signifikan, sekitar 15% dari total penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan untuk mencapai target 23% di 2025," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

PLN perlu mengubah rencana indikatif itu dalam RUPTL dan mengkaji opsi-opsi teknologi pembangkit. Untuk mengganti pembangkit dengan biomassa memerlukan waktu, terutama terakit penyediaan feedstock alias bahan bakarnya.

Fabby berpendapat, dengan kondisi permintaan yang rendah akibat pandemi virus corona, maka pasokan listrik harus menyesuaikannya. Permintaan listrik kemungkinan akan melandai dalam dua hingga tiga tahun ke depan.

Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan sedang mengkaji pengurangan atau penurunan PLTU. Langkah penurunan itu, menurut dia, sudah tepat, terutama untuk wilayah Jawa dan Sumatera.

Dengan perkiraan pertumbuhan listrik di Jawa-Bali sekitar 4% per tahun, maka tambahan kapasitas dalam lima tahun mendatang sekitar 3 gigawatt hingga 3,5 gigawatt per tahun. Untuk mengejar target 23% energi terbarukan, sebear 75% hingga 80% dari penambahan kapasitas tersebut harus berasal dari energi terbarukan.

PLTU Suralaya, Banten. (ANTARA FOTO/ASEP FATHULRAHMAN)

Pembangkit PLTU Perlu Dikurangi

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, apabila mengacu pada rencana umum energi nasional atau RUEN, pembangkit yang harus berkurang adalah PLTU. Apalagi, Indonesia terikat komtimen penurunan emisi karbon dalam Kesepakatan Paris 2015.

Dalam kesepakatan itu Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbonnya sebesar 29% pada 2030. Penurunannya bertambah menjadi 41% apabila dengan dukungan internasional.

Tren dunia sekarang sudah mulai mengurangi penggunaan batu bara sebagai energi primer. Hal ini pun menjadi peluang Indonesia dalam menggenjot porsi bauran energi terbarukan. "Pemerintah juga dalam waktu dekat akan mengesahkan undang-undang energi baru terbarukan," katanya.

Lalu, peraturan presiden atau Perpres tentang harga listrik energi terbarukan akan segera terbit. Dengan kondisi ini, ia mengatakan energi bersih akan menjadi sumber utama bahan bakar masa depan.  Potensinya mencapai 400 gigawatt dan yang baru terpakai hanya 10%.

Rencana penggantian PLTU tua perlu persiapan matang karena menyangkut kepentingan banyak masyarakat. Sebaiknya, pemerintah mengganti dulu PLTD di wilayah terpencil.

Apalagi, pembangkit berbahan bakar batu bara biasaya memiliki kontrak antara PLN dan produsen swasta (IPP). Proses business to business harus diselesaikan dulu sebelum pembangkitnya diubah.

Penentuan lokasi menjadi penting. "Jangan sampai tanpa melakukan kajian. Begitu (pembangkit) diganti ternyata tidak cocok dan menimbulkan biaya di kemudian hari," ujar Mamit.

Mengacu pada Statistik PLN 2019, pada akhir Desember total kapasitas terpasang dan unit pembangkit perusahaan setrum negara itu mencapai 43.857 megawatt dan 5.987 unit. Sebanyak 69,24% dari kapasitas itu berada di Jawa.

Pembangkit bertenaga batu bara atau PLTU mendominasi dengan porsi 47,31%. Di bawahnya adalah pembangkit gas uap alias PLTGU sebesar 24,42% dan PLTD yang berkontribusi 8,42%. Untuk total kapasitas terpasang nasional, termasuk dari pembangkit sewa dan produsen swasta (IPP) mencapai 62.833 megawatt.

Indonesia memiliki sejumlah PLTU yang umurnya sudah di atas 15 tahun. Yang terbesar adalah PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. Pembangkit ini sudah beroperasi sejak 1994 dan kapasitasnya sekarang mencapai 4.600 megawatt.

PLTU itu merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Untuk tahap pertama, pembangkitnya dikelola oleh PT International Power Mitsui Operation & Maintenance Indonesia, dengan PT Paiton Energy Company sebagai pemiliknya. Pembangkit tahap kedua dimiliki oleh PT Jawa Power, dengan PT YTL Jawa Timur yang mengoperasikannya.

Pembangkit listrik tenaga uap Suralaya di Banten usianya lebih tua lagi. Unit pertama pembangkit ini telah beroperasi sejak 1984. Sekarang telah berkembang menjadi tujuh unit dengan kapasitas 3.500 megawatt.

Reporter: Verda Nano Setiawan