Optimisme pemerintah dalam menggenjot produksi di sektor minyak dan gas bumi di 2030 cukup besar. Tak hanya target 1 juta barel minyak saja, produksi gas juga bakal naik hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).
Namun, pelaku usaha di industri migas mengingatkan pemerintah agar jangan hanya mematok angka yang ambisius. Target tersebut akan sulit tercapai tanpa infrastruktur yang memadai. Pembangunannya harus merata untuk menciptakan pasar domestik.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) Jugi Prajogio mengatakan pemerintah sedang mengerjakan infrastruktur itu, meliputi pipa transmisi dan pipa distribusi. Termasuk di dalamnya prasarana gas alam cair (LNG) dan gas alam terkompresi (CNG), fasilitas regasifikasi serta moda pengiriman dan transportasi lainnya.
Pemerintah telah menetapkan tiga proyek pipa gas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Ketiganya adalah Cirebon-Semarang alias Cisem, Sei Mangkei-Dumai, dan West Natuna Transportation System (WNTS)-Pulau Pemping. Hingga kini seluruh pembangunan pipa tersebut tak kunjung terealisasi.
Pembahasan kelanjutan tiga proyek itu sedang berlangsung. “Terutama untuk Cisem dan Sei Mangke-Dumai,” kata Jugi kepada Katadata.co.id, Senin (30/11).
BPH Migas juga bakal mengumumkan kelanjutan pembangunan jaringan pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang pada minggu depan. PT Rekayasa Industri alias Rekind telah memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek ini pada bulan lalu setelah memenangkan lelangnya 14 tahun lalu.
Agar kasus Rekind tak terulang kembali, BPH Migas akan memperbaiki sistem lelang. Pemenang akan diberikan batas waktu untuk mulai mengerjakan proyek, misalnya, maksimal dua tahun.
Ada tiga opsi saat ini untuk melanjutkan pipa gas Cirebon-Semarang. Pertama, menawarkan proyek ke pemenang lelang kedua dan ketiga pada tender 2006. Namun, hal tersebut sulit terealisasi karena para pemenang pasti akan berhitung keekonomiannya kembali.
Opsi berikutnya, BPH Migas melanjutkan proyek dengan skema penugasan kepada badan usaha pemerintah. Terakhir, BPH Migas kembali melakukan lelang ulang atas proyek Cisem.
Pada Mei lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan akan tetap menggenjot lebih banyak pembangunan infrastruktur gas di Indonesia meski sektor migas terpuruk karena pandemi corona.
Langkah ini sebagai antisipasi kebutuhan gas dalam negeri yang akan meningkat beberapa tahun ke depan. "Apakah pembangunan infrastruktur masih visible? Sangat visible kalau lihat sisi permintaan,” kata Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih ketika itu.
Sebagai informasi, produksi siap jual atau lifting minyak dan gas (migas) semester I-2020 tak memenuhi target karena permintaan yang melemah. Angkanya sebesar 1.714 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD).
Jumlah tersebut terdiri atas lifting minyak 713,3 ribu barel minyak per hari (BOPD) atau 94,5% target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Lifting gas juga hanya 5.605 juta standar kaki kubik per hari. Hasil itu setara dengan 84% target.
SKK Migas memprediksi lifting minyak masih dapat memenuhi angka APBN. Sebaliknya, untuk produksi gas diprediksi tak mencapai target karena turunnya kegiatan industri dan kelistrikan sehingga penyerapannya ikut menyusut.
Pertamina Proyeksi Kebutuhan Gas Akan Naik
Vice President Strategic and Investment Pertamina Daniel Syahputra Purba menyampaikan gas merupakan bagian perjalanan transisi energi dalam portofolio perusahaan. Kebutuhan gas ke depan perkiraannya akan terus meningkat.
Konsumsi atau porsi gas bumi dalam bahan bakar fosil saat ini masih 15%. Angka ini, menurut Daniel, akan naik hingga 33% di 2035.
Pertamina telah mengklasifikasikan tiga skenario pasar untuk gas, yaitu untuk transportasi, rumah tangga, dan industri. Untuk transportasi, konsumsinya akan stabil hingga tahun itu sebesar 25 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) karena arah industri otomotif menuju elektrifikasi.
Lalu, kebutuhan rumah tangga targetnya akan mencapai 30 juta sambungan pada 2035. Jaringan gas ini akan menjadi alternatif elektrifikasi rumah tangga nasional. Pertamina memproyeksi penyalurannya sekitar 700 juta standar kaki kubik per hari.
Kementerian ESDM mencatat realisasi pembangunan jaringan gas alias jargas mencapai 537.936 sambungan rumah (SR) hingga 2019. Jumlah yang dibangun meningkat 74.496 SR dibandingkan pada 2018 sebesar 463.440 sambungan.
Rinciannya, 74,41% dibiayai melalui APBN. Sebanyak 24,72% dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk alias PGN. Sisanya, Pertamina yang mengerjakan.
PGN telah memangkas pembangunan jargas tahun ini dari 316 ribu sambungan menjadi 127.894 sambungan rumah. Pengurangan ditempuh oleh anak usaha Pertamina itu untuk mengalihkan anggaran di tengah pandemi Covid-19.
Pembangunan jargas pada 2020 berfokus pada 23 kabupaten dan kota di Indonesia. Yang terbesar di Balikpapan, Penajam Paser Utara, Tarakan, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini. Pemerintah menargetkan setidaknya 16.809 SR terpasang pada tahun ini.
Terakhir, kebutuhan untuk gas industri penetrasi akan lebih besar. Kebutuhannya terutama untuk sektor kelistrikan, kilang petrokimia, manufaktur, dan lainnya. Hal ini juga ditopang dengan target bauran energi pemerintah di 2030 untuk menggantikan bahan bakar batu bara.
Proyeksi penyaluran gas industri akan mencapai 8.958 juta standar kaki kubik di 2035. "Apabila berjalan dengan baik dan regulasi mendukung, konsumsi gas akan meningkat signifikan ke depan," kata dia dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, siang tadi.
Berdasarkan paparan Pertamina, dalam lima tahun terakhir rata-rata penjualan gas terbesar adalah untuk fasilitas LNG sebesar 38%, Kemudian, sektor industri 28%, sektor kelistrikan 12%, kemudian sisanya adalah gas pipa, LNG domestik, kilang, dan gas kota. Sebagian besar gas dalam fasilitas LNG masih diperuntukkan untuk ekspor.
Penjualan gas untuk industri memang cukup besar konsumsinya. Namun, tahun ini angkanya menurun hingga 25% karena konsumsi melemah.
Realisasi penjualan gas dan LNG per September 2020 menurun tajam dibandingkan September 2019. Penurunan paling dalam dialami LNG domestik sebesar 69%. Gas untuk kebutuhan kilang turun 66% karena permintaan bahan bakar minyak atau BBM melemah.
Secara volume, dalam periode yang sama, penurunan penjualan gas terbesar terjadi pada sektor industri yang mencapai 127 miliar standar kuki kubik . Hal ini menunjukkan produktivitas industri di Indonesia menurun sangat tajam selama pandemi Covid-19.
Infrastruktur Dulu, Produksi Gas Kemudian
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pengembangan gas bumi di Indonesia memiliki tantangan besar. Khususnya terkait infrastruktur dan pembeli.
Pembangunan infrastruktur tersebut termasuk fasilitas terminal penerima gas, penyimpanan, dan jaringan pipa transmisi-distribusi. Sejauh ini pembangunannya belum memadai. Salah satu sebabnya karena proyek yang mahal dan butuh investasi besar.
Bahkan beberapa proyek yang sudah disiapkan sejak lama sampai saat ini progresnya tidak signifikan. "Jadi, memang pembangunan infrastruktur gas ini merupakan yang utama dalam rangka mencapai target 12 miliar standar kaki kubik per hari,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Jangan sampai target sudah tercapai tapi infrastruktur gas dalam negeri belum siap. "Jika target 2030 akan dikejar, maka pembangunan tiga pipa gas dalam PSN harus diselesaikan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai dikarenakan sifat komoditas gas, infrastruktur penopang logistiknya sangat krusial. Bahkan sebelum gas mulai produksi, prasarana harus sudah tersedia tepat waktu dan pembeli harus sudah diikat dengan kontrak.
Shell memprediksi permintaan LNG dalam negeri akan meningkat setidaknya lima kali lipat pada tahun 2040. "Ini jelas untuk memenuhinya harus ditopang infrastruktur," kata dia.
Tiga proyek pipa yang masuk dalam PSN, menurut dia, pemerintah perlu menawarkan skema all-in. Investor dapat masuk pada fase studi kelayakan, desain, dan pengembangan.
Pada fase itu investor dapat bertindak sebagai konsultan dan menawarkan komitmen investasinya dari awal. “Karena mereka yang melakukan evaluasi proyek dan memastikan pendanaan. Proyek akan jauh lebih cepat terealisasi,” ujar Mosche.
Pasar gas domestik juga semakin tidak jelas karena patokan harga dari pemerintah. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020, harga gas bumi tertinggi di titik serah pengguna atau plant gate sebesar US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU). Padahal saat ini harga LNG di pasar komoditas, melansir dari Reuters, untuk pengiriman Januari ke Asia Timur pada pekan lalu sempat menyentuh level US$ 7,4 per juta British Thermal Unit.
Ada tujuh sektor yang mendapatkan harga khusus itu, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Dampak kebijakannya, bagian pemerintah dari penjualan gas di hulu terpangkas sekitar US$ 2 per juta Brisith Thermal Unit.
Pengamat energi Komaidi Notonegoro mengatakan kondisi tersebut membuat proyek pembangunan infastruktur gas sulit terealisasi. “Makin tipis margin yang didapat pengembang. Ini menyulitkan pelaku usaha,” katanya, dikutip dari Antara.
Kebijakan patokan harga itu dapat menjadi bumerang apabila pemerintah tidak memberikan insentif untuk pengembang. Margin yang rendah akan membuat perusahaan memilih bisnis berisiko rendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.
Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, target pemerintah akan sulit tercapai. Kebijakan harga gas hanya menguntungkan sektor industri penggunanya. Di sisi lain, perusahaan swasta semakin sedikit yang mau membangun prasarana tersebut.