Sebanyak empat pabrik pemurnian atau smelter akan beroperasi tahun in. Salah satunya adalah smelter feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk di Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Tiga lainnya adalah smelter milik PT Cahaya Modern Metal Industri di Cikande, Serang, Jawa Barat, PT SNI di Cilegon, Banten, dan PT Kapuas Prima Coal di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin menargetkan sebanyak 53 smelter dapat terbangun hingga 2024. “Tahun ini akan bertambah menjadi 23 smelter," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/1).
Beberapa penyelesaian pabrik pemurnian memang ada yang terganggu karena terdampak pandemi Covid-19. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menyebut setidaknya 23 proyek telah mengajukan revisi rencana kerja.
Ia tak merinci perusahaan mana saja yang mengajukan perubahan tersebut. “Targetnya ada 23 perusahaan yang kami kontrol,” ucapnya.
Total realisasi fasilitas pemurnian mineral hingga 2020 sebanyak 19 smelter. Pada 2020, smelter terbanyak untuk komoditas tambang nikel, yakni 13 unit. Untuk bauksit dan tembaga masing-masing 2 smelter, serta besi dan mangan masing-masing 1 smelter., seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Pemerintah Buka Opsi Tunda Penyelesaian Smelter Freeport
Pemerintah mempertimbangkan penundaan jadwal penyelesaian pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 telah membuat pengerjaan proyek itu terganggu. “Dunia belum seindah 100% yang kami harapkan. Kalau ada kendala, akan kami pertimbangkan target 2023,” kata Ridwan.
Pemerintah berharap perusahaan asal Amerika Serikat itu akan menyelesaikan pembangunan smelter itu sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba. Terdapat dua fasilitas yang sedang perusahaan bangun, yaitu pengolahan konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga dan pemurnian logam berharga (precious metal refinery/PMR).
Hingga Juli 2020, berdasarkan data Kementerian ESDM, pembangunan smelter katoda tembaga di Gresik, Jawa Timur baru mencapai 5,86% dengan serapan biaya US$ 159 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun. Padahal, pada tahun lalu targetnya mencapai 10,5% dari keseluruhan pembangunan.
Untuk fasilitas pemurnian logam berharga, realisasinya baru 9,79% dengan serapan biaya US$ 19,8 juta atau sekitar Rp 278 miliar. Target pembangunan ini seharusnya mencapai 14,29%.
Pemerintah juga sedang mengkaji lokasi pembangunan smelter tersebut. Dari awalnya di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, kini terbuka peluang untuk membangunnya di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara.
Di Weda Bay, perusahaan bakal menggandeng Tsingshan Steel asal Tiongkok dengan nilai investasi mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25,5 triliun. "Boleh membangun sendiri, boleh bekerja sama," kata Ridwan.
Rencana pembangunan smelter di Weda Bay telah mendapat dukungan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam wawancaranya dengan Asia Times beberapa waktu lalu, Luhut mengatakan kesepakatan antara Freeport dengan Tsingshan akan ditandatangani sebelum Maret 2021.