Bos Pertamina Ungkap Rencana IPO & Laba US$ 1 Miliar di Tengah Pandemi

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan perusahaan bakal melepas saham anak usahanya ke lantai bursa pada semester dua tahun ini.
4/2/2021, 13.58 WIB

Pertamina bakal mencatatkan saham anak usahanya di bursa saham pada semester dua tahun ini. Direktur Utama Nicke Widyawati mengatakan langkah ini sebagai upaya untuk meningkatkan transparansi dan profesionalitas perusahaan.

Namun, ia tidak merinci rencana IPO (initial public offering) tersebut. “Di triwulan III atau IV 2021 kami akan IPO salah satu unit bisnis,” ujarnya dalam acara CNBC Energy Outlook, Kamis (4/2). 

Saat ini perusahaan tengah mengejar proses usaha yang efisien. “Akhirnya ini dapat meningkatkan affordability (keterjangkauan) energi kami, juga ke masyarakat,” ucap Nicke. 

Rencananya, Pertamina akan melakukan konsolidasi dan unconventional growth dengan aksi merger dan akuisisi (M&A) untuk subholding-nya. Di sektor hulu, perusahaan bakal menempuh langkah akuisisi dan divestasi. 

Pertamina juga akan mencari partner dengan pemain global untuk meningkatkan produksi migas nasional. Perusahaan juga terus menggenjot sektor energi baru terbarukan atau EBT. “Kami akan kosolidasi dengan badan usaha milik negara (BUMN) lain untuk meningkatkan energi hijau, khususnya panas bumi, biomassa, biogas, dan tenaga surya,” katanya. 

Pandemi Covid-19 pada tahun lalu telah membuat konsumsi bahan bakar minyak atau BBM Pertamina turun hingga 25% dibandingkan 2019. Tapi perusahaan tak mencatat kerugian.

Pertamina tetap mencatat kinerja keuntungan yang positif. Laba bersihnya mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. “Kami meningkatkan produktifitas hulu migas dan kilang, serta efisiensi di semua bidang,” ujar Nicke. 

Termasuk dalam efisiensi itu adalah pemotongan biaya operasional atau opex sebesar 30%. Pertamina juga melakukan prioritas anggaran untuk Investasi. 

Keuntungan berhasil perusahaan raih lantaran berhasil menekan biaya pokok penyediaan atau BPP. Saat harga minyak dunia anjlok tahun lalu, Pertamina membeli minyak mentah dalam jumlah besar sebagai cadangan. “Di satu sisi kami juga melakukan efisiensi luar biasa,” katanya. 

Utang Pertamina Diprediksi Naik

Dihubungi secara terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan pendapatan perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor energi turun 25% pada tahun lalu. Artinya, terjadi tekanan likuiditas yang cukup besar.

Tren ke depan akan menarik, menurut Bhima. Pertama, sepanjang 2020 tidak ada perubahan harga BBM. Sedangkan harga minyak mentah saat ini sudah mulai bangkit. Artinya, selisih marginnya akan semakin tipis.  

Dalam kondisi sekarang, kenaikan harga BBM sebesar Rp 100 per liter saja akan menekan daya beli masyarakat. Langkah ini juga tidak populer. “Itu bakal menjadi dilema (Pertamina),” ucapnya. 

Pemerintah juga mendorong Pertamina masuk ke sektor nonmigas, seperti biodiesel. Padahal, bahan bakar nabati (BBN) belum menjadi komoditas yang kompetitf dari segi harga dan pengguna. “Ini juga menjadi concern dan dapat menekan pendapatan,” kata Bhima. 

Dengan seluruh proyeksi itu, utang BUMN sektor energi kemungkinan akan naik. Secara total, jumlah pinjaman seluruh perusahaan pelat merah per September 2020 mencapai Rp 1.600 triliun. Perusahaan energi menyumbang utang cukup signifikan. 

Reporter: Verda Nano Setiawan