Harga tembaga naik 3% di atas US$ 9 ribu per ton pada pembukaan pedagangan hari ini, Senin (22/2). Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Peningkatan permintaan di tengah pemulihan pandemi Covid-19 membuat harga komoditas tambang itu naik. Konsumsi diperkirakan akan pulih.
Kenaikannya pun seiring harga nikel karena banyaknya proyek transisi energi dari fosil ke baru terbarukan. “Sentimen pasar saat ini sedang memanas untuk mengantisipasi siklus baru inflasi global,” kata analis Goldtrust Futures Co Jia Zheng, dikutip dari Bloomberg.
Investor Negeri Panda, yang baru kembali dari libur Tahun Baru Imlek, sedang menunggu stimulus dari Amerika Serikat dan Eropa. “Pada dasarnya, permintaan Tiongkok telah melebihi ekspektasi karena pembatasan perjalanan (lockdown) meningkatkan konsumsi,” ujar Jia.
Perusahaan investasi Goldman Sachs Group Inc pada pekan lalu mengatakan kembalinya Tiongkok dari istirahat selama seminggu telah memicu kenaikan harga komoditas. Namun, pasar sedang menghadapi defisit terbesar dalam satu dekade terakhir, dengan risiko kelangkaan yang tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Tanda-tanda pengetatan telah muncul di bursa berjangka Londn Metal Exchange. Pola itu terkenal dengan istilah backwardation, yaitu ledakan permintaan di pasar spot yang melampaui pasokan karena persediaan yang menipis.
Tekanan kurangnya pasokan juga terjadi karena pengurangan produksi di pabrik pemurnian atau smelter Tiongok. Stok yang terlacak pada bursa berjangka Shanghai pun menunjukkan angka terendah dalams atu dekade.
Pada perdagangan London Metal Exchange pada pagi tadi, tembaga naik ke US$ 9.110 per ton, setelah sempat mencapai US$ 9.187, angka tertinggi sejak 2011. Sedangkan nikel naik US$ 20 ribu per ton.
Reli harga tembaga telah menjadi keuntungan bagi pemasoknya. Jiangxi Cooper Co, produsen utama Tiongkok, naik 13% di bursa saham Hongk Kong. Angkanya merupakan tertinggi sejak 2013. Lalu, di Australia, OZ Minerals Ltd, harga sahamnya naik dua kali lipat selama 12 bulan terakhir.
Brent Kembali ke US$ 63 per Barel
Harga minyak mentah Brent kembali ke US$ 63 per barel. Data Bloomberg pukul 11.01 WIB menunjukkan kenaikannya mencapai 1,05% ke US$ 63,57 per barel.
Goldman Sachs memperkirakan harga minyak acuan global tersebut akan naik US$ 70 dalam beberapa bulan mendatang. Pemulihan ekonomi yang kuat mendorong angkanya ke level tertinggi dalam setahun terakhir.
Reli harga minyak, menurut Goldman Sachs, juga terjadi karena permintaan yang melebihi pasokan. Arab Saudi dan Rusia akan melakukan pertemuan pekan depan. Keduanya masih berbeda pendapat soal angka produksi minyak. Riyadh ingin produksi tetap stabil. Tapi Moskow berkeinginan melanjutkan peningkatan produksi.
Harga minyak telah naik lebih 20% tahun ini setelah Arab Saudi berjanji pada bulan lalu untuk memotong produksinya. Harga Brent menjadi bullish dan pasar mulai melepas pasokannya yang tertimbun selama pandemi Covid-19.
Untuk minyak mentah acuan AS, yaitu West Texas Intermediate, pada perdagangan hari ini pun naik. Angkanya mendekat US$ 60. Kenaikan pagi tadi mencapai 0,93% menjadi US$ 59,79 per barel.