PLN akan Konversi 3.000 Ton Sampah di Surabaya Jadi Co-firing PLTU

ANTARA FOTO/Moch Asim/foc.
Truk pengangkut sampah melintas di samping instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (6/5/2021)
7/5/2021, 15.16 WIB

PLN berencana mengkonversi 3.000 ton sampah di Surabaya menjadi bentuk pelet yang akan digunakan untuk co-firing energi primer pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hal ini demi mengurai persoalan sampah di kota Pahlawan.

Pasalnya Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo hanya mampu mengolah 1.000 ton sampah per hari untuk menjadi energi listrik.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini, mengatakan jumlah sampah di Surabaya saat ini bisa mencapai 4.000 ton per harinya. Oleh karena itu PLN tengah menyiasati agar sisa sampah 3.000 ton itu dapat diolah menjadi energi listrik, tanpa membangun PSEL baru.

"Kalau co-firing kami tidak perlu membangun PSEL baru. Tapi sampah kami proses menjadi pelet, dan pelet itu akan kita gunakan sebagai energi primer," ujarnya dalam Media Briefing terkait Program Co-Firing dan Konversi EBT, Jumat (7/5).

PLN sendiri telah memulai program co-firing ini sejak 2018. Saat ini PLN telah mengoperasikan co-firing di 8 PLTU eksisting dan 29 PLTU lainnya tengah dalam tahap uji coba.

Program co-firing ini nantinya akan menyasar 52 lokasi PLTU eksisting dengan kapasitas listrik 10,6 gigawatt (GW). Kebutuhan biomassa diperkirakan mencapai 9 juta ton per tahun yang akan diperoleh dari sampah dan hutan tanaman energi.

Program co-firing sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai sumber energi listrik, namun lebih pada penanganan sampah dilakukan dengan tepat untuk lingkungan yang lebih bersih. "Masalah sampah tidak hanya masalah kelistrikan tapi masalah bagaimana kita mengelola lingkungan kita dengan sebaik baiknya," kata dia.

Direktur Mega Project & EBT PLN M. Ikhsan Asaad mengatakan setidaknya dibutuhkan modal yang tidak begitu besar dalam mengubah sampah menjadi pelet. Misalnya di Tangerang, PLN hanya mengeluarkan modal sebesar Rp 24 miliar untuk mengubah 100 ton sampah per hari menjadi pelet.

Untuk itu, ia berencana untuk menggabungkan dua tipe pembangkit dalam satu tempat di Surabaya. Agar persoalan sampah di Surabaya dapat tertangani secara baik. "Bisa berdampingan. Kemungkinan kalau dua tipe kita gabungkan di satu tempat dengan kapasitas 9 MW tidak bisa menyelesaikan 4.000 ton sampah," ujarnya.

PSEL DI TPA BENOWO (ANTARA FOTO/Moch Asim/foc.)

Untuk diketahui, Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Sampah Kota yang terletak di TPA Benowo berkapasitas 9 MW dan merupakan PLTSa kedua yang beroperasi di Jawa Timur. Sebelumnya pada November 2015 beroperasi PLTSa Benowo 1,65 MW dengan teknologi sanitary landfill.

PLTSa Benowo ini merupakan PLTSa pertama di Indonesia yang menggunakan konsep zero waste dengan proses gasifikasi dan untuk produksi listrik dengan kapasitas 9 MW. PLN bekerja sama dengan IPP (Independent Power Producer) – PT Sumber Organik.

Kerja sama tersebut dilakukan sampai dengan 2032 dengan harga beli listrik sebesar US$ 13,35 sen/kWh sesuai dengan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Keunggulan dari teknologi zero waste ini adalah tidak ada sampah yang tersisa dibanding teknologi sebelumnya yang masih memiliki residu. Untuk kapasitas 9 MW ini dapat digunakan untuk melistriki sekitar 5.885 rumah tangga dengan daya 1.300 VA di wilayah Surabaya dan sekitarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan