Pertamina Kembangkan Bioavtur J2.4, Produksi Mulai 2023

ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Ilustrasi, tangki penampungan avtur DPPU Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (21/11/2019).
8/9/2021, 11.19 WIB

Pertamina berhasil memproduksi bahan bakar pesawat ramah lingkungan Bioavtur J2.4. Bahan bakar nabati (BBN) yang diproduksi di kilang Cilacap ini diujicobakan pada pesawat CN235 FTB. Adapun penelitian dan pengembangan bioavtur dan biodiesel telah dirintis di kilang Dumai dan Cilacap sejak 2014.

Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical Pertamina, Ifki Sukarya mengatakan bahwa melalui tahap pengembangan yang komprehensif, Bioavtur J2.4 terbukti menunjukkan performa yang setara dengan bahan bakar avtur fosil.

"Performa Bioavtur sudah optimal. Perbedaan kinerjanya dengan avtur fosil hanya 0,2-0,6%. Bioavtur J2.4 mengandung nabati 2.4%, ini merupakan pencapaian maksimal dengan teknologi katalis yang ada,” kata Ifki dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9).

Pengembangan Bioavtur J2.4, yang dimulai pada 2014, dilakukan melalui dua tahap penting. Tahap awal pengembangan dilakukan oleh anak usaha Pertamina, PT Kilang Pertamina Internasional unit Dumai, melalui distillate hydrotreating unit (DHDT).

Pada tahap pertama ditandai dengan proses 'hydrodecarboxylation', di mana target awalnya adalah produksi diesel biohidrokarbon dan bioavtur dalam skala laboratorium.

Sedangkan, tahap kedua ditandai dengan proses 'hydrodeoxygenation', dimana perusahaan berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon yang lebih efisien. Puncaknya, pada 2020, Kilang Dumai berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon D-100 yang 100% berasal dari bahan baku nabati yaitu refined bleached deodorized palm oil (RBDPO).

BDPO merupakan minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau. Tahap awal tersebut menjadi langkah penting pengembangan green product termasuk green diesel dan bioavtur.

Ifki menjelaskan kilang Cilacap memiliki kapasitas teknis untuk mengembangkan BioAvtur nasional. Hal tersebut tak lepas dari portofolio bisnis unit kilang ini yang merupakan produsen BBM jenis aviation turbine terbesar di Indonesia dengan angka produksi tertinggi, yakni 1.852 ribu barel sepanjang 2020.

Di unit kilang Cilacap, pengembangan Bioavtur dilakukan di dalam treated distillate hydro treating (TDHT). Katalis merah putih untuk Bioavtur diproduksi di fasilitas milik Clariant Kujang Catalyst di Cikampek dengan pengawasan langsung dari team RTI (Research Technology and Innovation) Pertamina.

"Kapasitas produksi Bioavtur di Unit Kilang Cilacap mencapai 8 ribu barel per hari dan akan terus ditingkatkan dengan melihat kebutuhan pasar, mulai 2023 nanti,” ujar Ifki Sukarya.

Dalam mengembangkan Bioavtur J-24, Pertamina turut melibatkan peran penting stakeholders termasuk Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, serta Institut Teknologi Bandung.

Pengembangan Bioavtur J-24 Pertamina selaras dengan roadmap energi bersih Kementerian ESDM yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2015 terkait pencampuran bahan bakar nabati hingga 5% pada tahun 2025, termasuk untuk moda transportasi udara.

Sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) Nomor 7 ‘Energi Bersih dan Terjangkau’, Bioavtur J2-4 produksi Pertamina berkontribusi dalam upaya penurunan emisi karbon. Tak hanya SDGs, di level nasional pengembangannya juga selaras dengan target untuk mencapai bauran energi terbarukan (EBT) 23% pada 2025.

Penggunaan Bahan Bakar Nabati Pangkas Emisi Karbon

Penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak 2006. Penggunaan biodiesel di Indonesia dilatari fakta bahwa Indonesia telah menjadi net-importir minyak mentah serta berlimpahnya produksi minyak sawit.

Penggunaan biodiesel pun diklaim berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 22,48 juta ton CO2 atau 59% dari target untuk sektor energi dan transportasi pada 2020.

“Biodiesel dapat berkontribusi sekitar 6% dalam target mengurangi emisi gas rumah kaca di tahun 2030 mendatang,” kata Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan beberapa waktu lalu, Rabu, (14/4).

Ia mengatakan, program B30 yang baru diluncurkan tahun lalu juga membantu untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Paulus menambahkan, pada 2020 program B30 sudah mengurangi jumlah impor solar sebanyak 8,37 juta kiloliter. Dan diproyeksikan akan mengurangi impor bahan bakar fosil sebesar 9,2 juta kiloliter pada tahun ini.

Reporter: Verda Nano Setiawan