Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi di sektor hulu migas melalui sejumlah insentif. Meski demikian pelaku usaha menginginkan perbaikan tersebut juga dilakukan dari sisi regulasi, yakni dengan merevisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi atau UU Migas.
Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai untuk berbisnis di sektor yang penuh risiko dan berbiaya jumbo, kepastian hukum menjadi hal mutlak. Apalagi, beberapa perusahaan minyak internasional (IOC) sudah mulai meninggalkan Indonesia.
"Kami berharap undang-undang migas baru dapat memberikan kepastian hukum yang lebih solid agar dapat meningkatkan iklim investasi ke depan," kata Moshe kepada Katadata.co.id, Senin (27/9).
Menurut dia kepastian hukum dari sisi regulasi dan UU mempunyai urgensi yang cukup penting. Mengingat, model kontrak kerja sama pada bisnis hulu migas membutuhkan basis dasar yang dapat memperkuat kontrak antara investor dengan pemerintah.
Revisi UU Migas menunjukkan Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi dalam memperbaiki iklim investasi. Sehingga dapat memberikan hawa positif bagi investor global. "Kita sudah lama bicara mengenai UU baru, saran saya secepatnya keluar apapun itu kita dukung. konten dari UU tersebut yang konstruktif," katanya.
Direktur Pengembangan dan Produksi Pertamina Hulu Energi (PHE), Taufik Aditiyawarman menyebut tantangan terbesar industri hulu migas saat ini yakni menciptakan iklim investasi agar lebih kondusif. Misalnya seperti perbaikan fiskal, pemberian kepastian hukum, serta kemudahan perusahaan dan perizinan.
"Saya kira ini yang akan membuat investor besar tertarik untuk datang ke Indonesia. Pada dasarnya kami dari sisi Pertamina mendukung baik pemerintah dalam mendorong iklim inevstasi migas termasuk upaya penerapan regulasi dan UU yang konstruktif," katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika mengatakan tanpa ada kejelasan aturan, berbagai insentif di sektor ini menjadi sia-sia. “Kepastian hukum masih belum bagus, investor tidak akan masuk,” katanya beberapa waktu lalu.
Pemerintah, menurut dia, perlu mengkaji ulang pemberian insentif di hulu migas. Banyak yang berjalan tidak sesuai harapan. Selain itu, target 1 juta barel minyak per hari di 2030 perlu penjelasan yang konkrit dan transparan.
Di negara lain, misalnya, untuk menggenjot produksi caranya dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi, bukan penerapan teknologi pengurasan minyak (EOR) seperti di Indonesia. Setelah menemukan potensi, barulah naik ke tahap keekonomian.
Apabila semua langkah tersebut terlaksana, tahap selanjutnya adalah kepastian hukum. “Di Indonesia, hukumnya bagaimana? Ada nggak kepastian hukum?” ujar Kardaya.
Praktisi Migas Widyawan Prawira Atmaja pun setuju dengan sistematika yang dipaparkan Kardaya. Namun, ia mempertanyakan progres revisi undang-undang migas.
Sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas pada 2012, pembahasan revisinya belum juga rampung. "Kalau boleh nembak, ini UU Migas sudah lama, Pak. Sudah lebih sembilan tahun tidak jadi-jadi," ujarnya.
Widyawan menyebut kepastian hukum paling mendasar saat ini adalah penyelesaian RUU Migas. Ia mendesak Komisi VII DPR untuk segera menyelesaikannya.