PLN memastikan krisis energi listrik yang menjerat Inggris, kawasan Eropa, Cina, hingga India tak akan terjadi di Indonesia. Pasalnya, Indonesia saat ini justru tengah mengalami kelebihan pasokan listrik atau oversupply dari pembangkit.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan dalam perencanaan pencapaian target netral karbon pada 2060 mendatang, pihaknya melakukannya secara bertahap. Mengingat isu kelebihan pasokan listrik baru teratasi pada 2030.
"Sehingga kondisi yang terjadi di Inggris tak usah khawatir, kemungkinan besar tidak terjadi di kita. Karena sumber energi kita masih banyak," kata dia dalam Webinar Diseminasi RUPTL PLN 2021-2030, Selasa (5/10).
Adapun, untuk memastikan keberlanjutan dari pasokan energi bersih, perushaaan juga terus menggenjot program Co-Firing PLTU batu bara dengan biomassa. Di samping itu, pemenuhan energi listrik di RI sejauh ini juga lebih banyak memanfaatkan sumber daya internal.
Dimana PLTA dan PLTP akan menjadi backbone utama di dalam RUPTL PLN 2021-2030. Apalagi dalam RUPTL kapaistas PLTA lebih dari 3000 MW dan PLTP sebesar 3.355 MW. "PLTS sendiri 4,6 GW. Di mana energi EBT-nya cukup sustain terkait dengan itu," katanya.
Seperti diketahui, beberapa negara di dunia yang mengalami krisis energi seperti Inggris, Cina, hingga India, beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Akibatnya permintaan batu bara global meningkat dan mengerek harga hingga menyentuh US$ 240 per ton.
Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, menilai kondisi ini membuat permintaan batu bara dalam negeri meningkat. Apalagi Cina dan India selama ini mengimpor batu bara asal Indonesia.
Dampaknya, harga batubara acuan (HBA) pada September 2021 menembus US$ 150 per ton, atau melonjak 152% dibandingkan periode sama tahun lalu. Kemudian HBA pada oktober kembali naik menjadi US$ 161,63 per ton. Simak databoks berikut:
Dia memperkirakan permintaan batu bara akan meningkat hingga beberapa tahun ke depan. "Apalagi sampai 2025, dipastikan kebutuhan impor Cina tetap akan meningkat," kata Singgih kepada Katadata.co.id.
Singgih menilai kenaikan batu bara saat ini bukan semata disebabkan mekanisme pasokan dan permintaan. "Siapapun sulit menebak sampai setinggi berapa. Demikian turunnya batu bara, siapapun tidak mudah menebaknya," ujarnya.
Dia menyarankan pemerintah memetakan bagaimana arah kebijakan Cina dalam impor batu bara. Menurut dia kenaikan harga batu bara saat ini tak lantas direspons dengan memperbesar produksi secara nasional. "Perhitungan ke depan harus dipertimbangkan dengan matang, agar industri tambang tetap dapat bertahan," kata dia
Selain itu, dia juga berharap Kementerian ESDM dapat memperhatikan isu disparitas harga yang tinggi antara ekspor dan domestik. Pemerintah perlu menjaga komitmen pemasok untuk tetap memperhatikan kebijakan domestic market obligation (DMO).
Keyakinan yang sama juga diungkapkan Dewan Energi Nasional (DEN). Pasalnya, kebijakan energi nasional memprioritaskan kebutuhan domestik, sebelum komoditas energi diekspor.
Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan sesuai kebijakan energi nasional, energi menjadi modal pembangunan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Oleh karena itu, kebijakan energi harus mengutamakan kebutuhan untuk domestik.
"Apakah Indonesia cukup untuk kepentingan energi primernya, saya katakan cukup karena semua boleh diekspor kalau kepentingan domestik terpenuhi," kata Satya kepada Katadata.co.id, Kamis (30/9).