Pemerintah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 40,6 gigawatt (GW). Rinciannya, porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) ditetapkan 51,6% dan fosil 48,4%.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengapresiasi langkah pemerintah dengan menggulirkan green RUPTL sebagai upaya memenuhi target bauran EBT 23% pada 2025. Namun, dia menilai target ini masih belum cukup untuk mencapai target bauran energi terbarukan (ET) yang telah dicanangkan.
"Masih belum cukup untuk mencapai target energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Jika digabung dengan sektor lainnya, maka porsi ET akan lebih kecil dari 23% energi," kata Surya kepada Katadata.co.id, Kamis (7/10).
Menurut Surya, sektor transportasi serta industri yang masih menggunakan batu bara dan migas akan mengurangi bauran energi secara nasional.
Jika berharap target bauran energi nasional pada 2025 terpenuhi, maka sektor kelistrikan harus memenuhi peran energi terbarukan lebih besar dari 23% atau ada pengurangan penggunaan batu bara secara signifikan.
Namun, hal ini akan menjadi tantangan besar karena PLN masih harus merealisasikan program 35 ribu megawatt (MW) yang berasal dari batu bara.
"Ini berarti, malah PLTU yang dipastikan akan masuk dalam sistem dan pasti akan mengurangi persentase porsi ET," ujarnya.
Dia mengimbau pihak terkait untuk mempertimbangkan cara dan komitmen agar pertumbuhan ET bisa lebih cepat dari energi fosil.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan RUPTL ini menjadi yang pertama setelah pemerintah memutuskan untuk mencapai dekarbonisasi pada 2060. Pemerintah juga memutuskan tidak akan lagi membangun PLTU baru setelah penyelesaian proyek 35 ribu MW.
Menurut dia, jika dibandingkan RUPTL sebelumnya, peningkatan signifikan kapasitas pembangkit energi terbarukan dalam RPUTL saat ini patut diapresiasi.
Meski demikian, Fabby mengamati penambahan kapasitas listrik yang hanya 10,6 GW pada RUPTL saat ini. Padahal, jika menilik target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) berdasarkan perhitungan IESR, diperlukan tambahan kapasitas 14 GW baru hingga 2025.
"Ini artinya masih ada selisih 3-4 GW yang harus di tambah di luar PLN, yang berasal dari pembangkit ET di wilayah usaha non-PLN, pembangkit off-grid dan partisipasi masyarakat, yang berasal dari PLTS Atap," ujarnya.
Menurut Fabby, penyusunan RUPTL 2021-2030 juga didominasi oleh kondisi PLN yang mengalami kelebihan pasokan listrik. Hal ini terjadi lantaran optimisme dalam memperkirakan laju permintaan listrik saat merencanakan program 35 ribu MW, dan perubahan laju permintaan listrik pasca Covid-19.
Dengan demikian, dia menganggap tambahan pembangkit pada 2026-2030 masih belum optimal. Menurut dia, jika ingin mencapai dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal, maka pada 2030, sebanyak 70% kapasitas pembangkit listrik harus berasal dari energi terbarukan. Hal itu menurut perhitungan IESR.
"Artinya perlu ada penurunan kapasitas pembangkit thermal. Saat ini pembahasan mengenai opsi early coal retirement masih berlangsung antara ADB(Asian Development Bank), lembaga bilateral dan pemerintah Indonesia," katanya.