Harga minyak mentah dunia terus merangkak naik ke level tertingginya sejak 2014. Kenaikan ini dipicu krisis energi yang membuat pasokan gas dan batu bara mengetat sehingga mendongkrak harganya, sehingga sejumlah negara kembali beralih ke minyak untuk pembangkitan listrik.
Minyak mentah berjangka Brent naik US$ 0,87 atau 1% ke level tertingginya sejak Oktober 2018 menjadi US$ 85,73 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,12 (1,4%) ke level tertingginya sejak 2014 di level US$ 83,40 per barel. Keduanya bahkan naik hingga 3% minggu lalu.
“Pelonggaran pembatasan di seluruh dunia kemungkinan akan membantu pemulihan konsumsi bahan bakar. Amerika Serikat (AS) dikabarkan akan membuka perbatasannya untuk pelancong bulan depan, sama seperti Australia dan Asia,” kata tim analis dari Bank ANZ, dikutip Reuters, Senin (18/10).
Mereka menambahkan bahwa peralihan gas ke minyak saja akan meningkatkan permintaan hingga 450 ribu barel per hari (bph) pada kuartal IV. Meski demikian, ada kemungkinan AS meningkatkan pasokannya, di mana perusahaan energi mulai menambahkan jumlah rig migas dipicu kenaikan harga minyak.
Sementara itu ekonomi Cina pada kuartal III tahun ini tumbuh melambat ke level terendahnya setahun terakhir dipicu krisis energi yang membuat otoritas setempat melakukan penjatahan listrik sehingga banyak industri yang setop beroperasi.
Untuk mengatasi krisis, negara pengkonsumsi minyak terbesar kedua di dunia ini telah mengeluarkan kuota impor minyak untuk penyulingan independen untuk tahun ini. Simak perkembangan harga minyak mentah dunia pada databoks berikut:
Harga Berpotensi Tembus US$ 100 per barel
Sejumlah analis memprediksi harga minyak mentah dunia kembali menembus US$ 100 per barel tahun ini. Kepala analis komoditas SEB, Bjarne Schieldrop memperkirakan permintaan minyak meningkat hingga 500 ribu bph, dari level saat ini sekitar 92 juta bph.
Kenaikan ini lantaran produsen listrik beralih dari ke minyak untuk menutup kekurangan pasokan gas dan batu bara untuk menjaga baseload pembangkit listriknya.
“Ini tidak pernah terjadi sebelumnya, apalagi dalam skala global. Pasar selalu mencari pengganti minyak yang mahal ke gas alam yang seharusnya lebih murah,” kata Schieldrop seperti dikutip Reuters, Senin (11/10).
Sama seperti Schieldrop, Chief Executive Officer (CEO) Amin Nasser memperkirakan permintaan minyak akan melonjak setengah juta bph. JP Morgan menilai peningkatan permintaan minyak dapat mencapai 750 ribu hingga 2 juta bph.
Sedangkan International Energy Agency (IEA) memperkirakan hanya 200 ribu bph dengan peningkatan terbesar terjadi di Indonesia, Pakistan, Timur Tengah, dan Bangladesh. ANZ memperkirakan lonjakan permintaan minyak bisa mencapai 450 ribu bph.