Investasi Jumbo Air Products Bakal Memacu Hilirisasi Batu Bara RI

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Sebuah truk pengangkut batu bara melintasi jalan tambang batu bara di Kecamatan Salam Babaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Rabu (7/7/2021).
12/11/2021, 18.39 WIB

Pemerintah tengah berupaya untuk menggenjot proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Masuknya investasi Air Products and Chemicals Inc sebesar US$ 13-15 miliar (Rp 185-214 triliun) dapat mendorong upaya hilirisasi batu bara di Indonesia.

Sebab, hambatan dari implementasi dari proyek ini masih terletak pada penguasaan teknologi dan ketersediaan dana. Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan proyek DME membutuhkan investasi besar, setidaknya US$ 2-4 miliar (Rp 28-57 triliun).

Sehingga tidak semua Pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) mampu menjalankan proyek ini. Oleh karena itu, kerja sama atau mencari mitra menjadi jalan keluar.

Termasuk dalam hal teknologi DME, belum ada perusahaan di Indonesia yang mampu menguasai sepenuhnya teknologi DME. Jadi mau tidak mau, dengan keterbatasan tersebut diperlukan alih teknologi sampai benar-benar Indonesia menguasai teknologinya.

"Pemerintah harus mengarahkan badan litbang yang ada termasuk yang ada di bawah BRIN yang baru dibentuk untuk dapat membuat teknologi hilirisasi batu bara," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (11/12).

Dengan penguasaan teknologi ini, dia optimistis nantinya Indonesia akan unggul dari negara lain. Mengingat sumber daya batu bara yang dimiliki sangat besar. Di samping itu, Indonesia juga memiliki potensi pasar dalam negeri yang cukup besar dengan populasi 270 juta orang, termasuk pasar ASEAN.

Adapun hal lain yang harus menjadi pertimbangan adalah dengan biaya akuisisi teknologi yang sangat mahal, maka komponen lain yang menjadi komponen biaya seperti harga batu bara menjadi isu yang sensitif. Sebab untuk mencapai tingkat keekonomian, harga batu bara sebagai feeding material harus ditekan serendah mungkin.

Selain itu tentunya kebijakan yang diharapkan oleh investor adalah adanya insentif fiskal, non-fiskal dan pengalihan subsidi yang harus dipertimbangkan agar proyek menjadi ekonomis.

"Lokasi proyek hilirisasi terkadang juga menjadi masalah, terkait pembebasan lahan, izin lingkungan, dan izin lain yang diperlukan agar proyek hilirisasi DME bisa konkrit dilakukan," katanya.

Sejauh ini pemerintah selalu memberikan dukungannya untuk hilirisasi batu bara segera bisa direalisasikan. Dengan keberhasilan pengendalian pandemi Covid-19 oleh pemerintah Indonesia, dia pun berharap proyek hilirisasi batu bara bisa kembali normal dan dapat dilaksanakan sesuai dengan target waktu yang sudah ditetapkan.

Seperti diketahui, pemerintah menjamin proyek gasifikasi batu bara sangat tepat sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum gas (LPG atau Elpiji). Sebab menurut perhitungan pemerintah, biaya produksi DME lebih murah daripada impor LPG.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintah bakal mendorong proyek hilirisasi di sektor pertambangan batu bara setelah Air Products berinvestasi pada proyek gasifikasi di Indonesia.

Menurut Bahlil, kebijakan ini diambil mengingat impor LPG di Indonesia saat ini telah mencapai 5,5-6 juta metrik ton. Sehingga jika tak ditahan, maka cadangan devisa yang akan keluar yakni sekitar Rp 55-70 triliun.

"Kita akan kurangi impor LPG kita dengan DME. Harganya lebih murah juga, jadi substitusi impor dapat, kedaulatan energi kita dorong, kemudian neraca dagang kita jaga dan barang tentu banyak ciptakan lapangan pekerjaan dan nilai tambah," kata dia.

Reporter: Verda Nano Setiawan