Kementerian ESDM hingga kini masih menahan implementasi dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia.
Langkah tersebut diambil karena pemerintah masih menghitung seberapa besar pengaruhnya terhadap sistem yang ada di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan aturan ini secara legal telah ditetapkan pada 13 Agustus 2021 dan diundangkan pada 20 Agustus 2021.
Namun pihaknya masih perlu mendiskusikannya kembali dengan lintas Kementerian.
"Kita melalui kantor Setkab ini sedang mengkonfirmasi dari angka angka yang kita susun dari target, seperti apa pengaruhnya kepada sistem yang ada di PLN," kata Dadan dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja dan Rencana Kerja 2022 Subsektor EBTKE, Senin (17/1).
Menurut Dadan, penyelesaiannya aturan Permen PLTS Atap masih menunggu Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa Permen ini bisa dieksekusi.
"Sekarang kita tahan masih kita hold," ujarnya.
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) sebelumnya mendorong agar Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia dapat segera jalan.
Pasalnya, aturan ini sudah dinantikan oleh para pengguna PLTS atap di Indonesia.
Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa mengatakan aturan mengenai pemanfaatan PLTS atap sangat penting untuk segera dijalankan.
Dia menilai penundaan implementasi aturan yang telah diundangkan pada 20 Agustus karena tertahan di Kementerian Keuangan. Kondisi tersebut akan menciptakan ketidakpastian di kalangan Investor.
"Investor melihat pemerintah Jokowi tidak serius mendukung energi terbarukan, sebab tak kunjung mengesahkan karena masih menunggu hasil hitung-hitungan dari Menteri Keuangan," ujarnya beberapa waktu lalu.
Dengan kondisi tersebut, dia menilai jika Menteri Keuangan Sri Mulyani, seperti tidak mempunyai sense of urgency dan kurang berpihak pada energi baru terbarukan (EBT), kecuali, pada sektor panas bumi.
Hal ini lantaran pengembangan energi terbarukan selalu terbentur oleh risiko fiskal pada PLN. Ia pun meminta agar Presiden Joko Widodo menegur langsung Menteri Keuangan atas persoalan ini.
"Karena memperlambat upaya transisi energi yang telah menjadi komitmen Presiden dan pencapaian 23% bauran ET di 2025," katanya.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan minat pasar terhadap penggunaan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap terus meningkat per bulan.
Jumlahnya mencapai 4.399 pelanggan per Oktober 2021. Total kapasitas PLTS atap yang digunakan oleh ribuan pelanggan itu 42,39 mega watt peak (MWp).
Pengguna PLTS atap di antaranya untuk sektor industri mencapai 40 dan di sektor komersial dan bisnis sebanyak 351.