Penerapan Pajak Karbon PLTU Mulai 1 April Ditunda Lagi

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).
25/3/2022, 19.22 WIB

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengatakan, berkaca pada penerapan pajak karbon di beberapa negara, pajak karbon diterapkan pada bahan bakar utama yang memiliki emisi karbon tinggi seperti batu bara, solar dan bensin.

"Berdasarkan pengalaman dari penerapan pajak karbon di Australia, kebijakan ini berdampak pada meningkatnya pengangguran di sektor tambang dan naiknya biaya listrik. Sehingga, penerapan pajak karbon menjadi konsekuensi yang perlu dimitigasi oleh pelaku usaha dan pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Sementara untuk tarif emisi umumnya dikenakan pada industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik dan petrokimia. Namun, beberapa bahan bakar utama dan industri tersebut merupakan bahan bakar yang masih umum digunakan di Indonesia.

Namun Kementerian ESDM mengatakan bahwa berdasarkan perhitungan mereka, pengenaan pajak karbon terhadap PLTU tak akan berdampak besar terhadap biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana memastikan rencana penerapan pajak karbon ini tidak akan banyak mempengaruhi BPP yang nantinya akan mengerek tarif listrik.

Dengan pajak karbon yang ditetapkan sebesar US$ 2 per ton (Rp 30/kg CO2e) maka kenaikan BPP hanya sebesar Rp 0,58 per kWh (kilowatt-hour). Saat ini BPP harian sekitar Rp 1.400 per kWh. "Tambah Rp 0,58, kecil. Jadi ke BPP tidak terasa," kata Rida beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu dia meminta kebijakan pajak karbon ini bisa diterapkan terlebih dahulu. "Angka US$ 2 per ton ini untuk men-trigger. Ke depan mekanisme pasar yang bekerja, nanti PLN mengantisipasi itu," kata dia.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu