Penerapan Pajak Karbon PLTU Mulai 1 April Ditunda Lagi

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).
25/3/2022, 19.22 WIB

Rencana penerapan pajak karbon pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dimulai pada 1 April 2022 kemungkinan besar akan diundur selama beberapa bulan.

Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Hadi Setiawan. Ia menyampaikan saat ini sejumlah aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Ekonomi Karbon masih dalam pembahasan.

Selain itu, kondisi geopolitik pasca perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan harga sejumlah komoditas melonjak, disinyalir juga menjadi sebab penundaan pelaksanaan pajak karbon.

“Pimpinan melihat dinamika itu, ini masih didiskusikan apakah masih tetap jalan di 1 April atau nanti ada penundaan berapa ke depan. Kami masih menunggu arahan, termasuk dari presiden," ujarnya dalam diskusi 'Implementasi Carbon Pricing Instruments, Apa Dampaknya Bagi Pengembang Energi Terbarukan', Jumat (25/3)

Beberapa pihak sebelumnya menilai rencana pemerintah mengenakan pajak karbon PLTU mulai April 2022 berpotensi mengerek tarif listrik. Pasalnya, mayoritas pasokan listrik di Indonesia masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batu bara.

Artinya, jika pajak karbon diterapkan pada PLTU, maka BPP listrik juga akan naik, yang kemudian akan mengerek naik tarif listrik. Simak databoks berikut:

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengatakan, berkaca pada penerapan pajak karbon di beberapa negara, pajak karbon diterapkan pada bahan bakar utama yang memiliki emisi karbon tinggi seperti batu bara, solar dan bensin.

"Berdasarkan pengalaman dari penerapan pajak karbon di Australia, kebijakan ini berdampak pada meningkatnya pengangguran di sektor tambang dan naiknya biaya listrik. Sehingga, penerapan pajak karbon menjadi konsekuensi yang perlu dimitigasi oleh pelaku usaha dan pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Sementara untuk tarif emisi umumnya dikenakan pada industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik dan petrokimia. Namun, beberapa bahan bakar utama dan industri tersebut merupakan bahan bakar yang masih umum digunakan di Indonesia.

Namun Kementerian ESDM mengatakan bahwa berdasarkan perhitungan mereka, pengenaan pajak karbon terhadap PLTU tak akan berdampak besar terhadap biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana memastikan rencana penerapan pajak karbon ini tidak akan banyak mempengaruhi BPP yang nantinya akan mengerek tarif listrik.

Dengan pajak karbon yang ditetapkan sebesar US$ 2 per ton (Rp 30/kg CO2e) maka kenaikan BPP hanya sebesar Rp 0,58 per kWh (kilowatt-hour). Saat ini BPP harian sekitar Rp 1.400 per kWh. "Tambah Rp 0,58, kecil. Jadi ke BPP tidak terasa," kata Rida beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu dia meminta kebijakan pajak karbon ini bisa diterapkan terlebih dahulu. "Angka US$ 2 per ton ini untuk men-trigger. Ke depan mekanisme pasar yang bekerja, nanti PLN mengantisipasi itu," kata dia.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu