PT Timah Tbk telah berhasil mengekstraksi logam tanah jarang jenis monasit dari timah. Namun mineral langka tersebut tak bisa dijual atau diproses lebih lanjut karena terkendala teknologi, pasar, dan tata kelola dan aturan pengusahaannya.

Direktur Utama PT Timah, Achmad Ardianto, mengatakan bahwa pihaknya bersama Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejauh ini telah berhasil mengekstraksi monasit dari timah yang kemudian diproses kembali menjadi monasit hidroksida. Melalui prosedur cracking, PT Timah sejauh ini telah menghasilkan 300 ton monasit hidroksida.

“Namun stok tersebut belum bisa dimanfaatkan lebih jauh karena terkendala aturan dan ketersediaan pasar. Sekarang ada 300 ton stok monasit hidroksida, siap untuk dikembangkan lebih jauh,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (11/4).

Dia menjelaskan bahwa pada setiap 1 ton bijih timah mengandung 0,95% monasit yang bisa digunakan sebagai lapisan pewasat tempur, satelit dan baterai listrik. Menurut catatan Badan Geologi pada 2019, Indonesia memiliki sumber daya logam tanah jarang jenis ini sebesar 23.500 ton.

“Langkah selanjutnya menemukan teknologi yang tepat untuk memastikan monasit itu bisa terkestraksi dan bisa dikapitalisasi menjadi logam dan bisa dijual ke penggunanya,” kata Ardianto.

PT Timah bersama BATAN sejak 2010 telah melakukan sejumlah penelitian untuk melakukan pengolahan logam tanah jarang monasit menjadi konsentrat monasit karbonat, monasit hidroksida, dan monasit oksida.

Ardianto memaparkan, pada tahun ini ditargetkan sudah ada teknologi pengolahan yang akan dilajutkan dengan persiapan dan operasional pabrik pada 2024. Saat ini, teknologi pengolahan timah menjadi LTJ Monasit sangat jarang ditemui di dunia.

Jika ada, lanjutnya, kapasitas yang ditawarkan tidak cocok dengan kapastias produksi yang ada di Indonesia. “Teknologi yang ada di dunia saat adalah yang ekonomis untuk 4.000 ton per tahun, sementara yang kita butuhkan untuk untuk cadangan total 23.500 ton adalah teknologi dengan kapasitas 1.000 ton per tahun,” ujarnya.

Saat ini, pemerintah Indonesia melalui PT Timah sedang menjalin kerja sama dengan perusahaan teknologi dari Kanada untuk mengembangkan teknologi pengolahan monasit dengan kapasitas 1.000 ton per tahun.

Selain itu, Ardianto berharap pemerintah memberikan dukungan investasi awal kepada PT Timah baik berupa pendanaan maupun regulasi yang mengatur tata kelola pengusahaan Monasit.

“Perlu turunan PP No.96 Tahun 2021 untuk tata Kelola Monasit sebagai logam dan perlunya kesiapan pasar dalam negeri untuk menampung logam tanah jarang monasit,” ujarnya.

Permintaan tersebut mendapat respon positif dari DPR. Dalam kesimpulan rapat tersebut, Komisi VII mendesak Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian untuk menyusul regulasi tata kelola logam tanah jarang, khususnya untuk monasit dan turunannya.

Anggota Komisi VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, menyebut regulasi mengenai tata kelola logam tanah jarang harus segera dibuat agar proses pengolahan dapat memperoleh legalitas dan proteksi dari pemerintah.

Selain itu, ia juga menyoroti ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri yang perlu dilibatkan dalam proyek pengolahan logam tanah jarang.

“SDM jangan ambil dari luar negeri, nanti dimainkan dan didatangkan kontraktor dari luar seperti Freeport. Bisa menderita kita, sudah hitam hutan kita di Papua sana. Ada sungai merkuri, jadi jangan sampai terulang lagi. SDM kita harus mengerti dan kita carikan konsultan,” kata Tifatul.

Eks Menteri Komunikasi dan Informatika itu menambahkan, ke depan, jika proyek pengolahan logam tanah jarang sudah berjalan, Tifatul berharap PT Timah mampu memproduksi barang siap pakai atau hasil industri sesuai permintaan pasar.

“Jangan jual untuk raw material saja, tapi untuk ke depan harus ada hasil industri dari situ, maka perlu ahli. Dengan indutrialisasi itu bisa ratusan kali lipat nilainya,” tukasnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu