Laporan tahunan bertajuk "Boom and Bust" yang dikeluarkan oleh Global Energy Monitor (GEM) menemukan bahwa tren penurunan kapasitas PLTU batu bara di dunia terus berlanjut. Data terakhir menunjukkan kapasitas PLTU batu bara global turun 13% di sepanjang 2021, dari 535 gigawatt (GW) menjadi 457 GW.
Pada Januari 2021 sekitar 41 negara tercatat masih memiliki rencana untuk membangun PLTU batu bara baru. Namun, angka tersebut telah menurun menjadi 34 negara saat ini. Cina, Korea Selatan, dan Jepang telah berjanji untuk menghentikan pembiayaan PLTU baru di luar negeri.
"Namun, Cina masih berada di urutan teratas dalam pembangunan PLTU batu bara baru secara domestik, dengan kapasitas batu bara melebihi angka global," tulis laporan tersebut seperti dikutip dari keterangan tertulis pada Rabu (27/4).
Pada 2021, PLTU batu bara yang beroperasi meningkat menjadi 18,2 GW karena tren pemensiunan PLTU batu bara melambat. Kapasitas PLTU batu bara dalam fase pra-konstruksi tetap berada di angka 280 GW secara global, setara dengan kapasitas yang dimiliki Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
Ketika kapasitas PLTU secara global mengalami penurunan pada 2021, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Menurut temuan laporan ini kapasitas PLTU yang beroperasi di Indonesia meningkat 9%, dari 36,6 GW menjadi 40,1 GW, dan sudah meningkat 54% dari 26,1 GW pada 2015.
Berdasarkan informasi yang tersedia, beberapa unit baru tampaknya sudah mulai beroperasi di tujuh PLTU, termasuk PLTU di sejumlah kawasan industri, di antaranya Kawasan Industri Weda Bay, Kawasan Industri Konawe (Delong Nickel Tahap II), Delong Nickel Tahap III, dan Kawasan Industri Nanshan.
Saat ini Indonesia memiliki 15,4 GW kapasitas PLTU batu bara dalam tahap konstruksi, jumlah yang melampaui semua negara lain, kecuali Tiongkok dan India. Laporan itu juga mengungkapkan Indonesia memiliki 10,8 GW PLTU batu bara dalam tahap pra-konstruksi dan 11,2 GW rencana yang sudah ditangguhkan.
Namun, baru enam unit dalam tahap pra-konstruksi, dengan total kapasitas sebesar 2 GW dan telah menerima izin untuk memulai konstruksi.
“Pasca komitmen iklim terbaru dari Cina, Korea Selatan, dan Jepang kapasitas PLTU batu bara dalam pembangunan secara global relatif menurun. Penurunannya akan semakin besar jika negara-negara pendukung utama proyek PLTU di Indonesia itu menarik diri dari proyek-proyek yang masih direncanakan untuk memenuhi target komitmen iklim mereka.” kata peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo.
Sementara itu, laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bulan ini memastikan bahwa penurunan batu bara secara radikal harus terjadi pada dekade ini sebab dunia sudah tidak memiliki anggaran karbon (carbon budget) untuk pembangunan PLTU batu bara baru.
Sedangkan penggunaan batu bara harus turun 75% pada tahun 2030 (dari level 2019) agar dapat menahan kenaikan suhu global dibawah 1.5 derajat Celcius sesuai dengan Perjanjian Paris.
“Rencana pembangunan PLTU batu bara harus berhenti sekarang. Arahan dari laporan IPCC sudah jelas, hentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan segera pensiunkan yang masih beroperasi di negara maju pada 2030, dan negara lain menyusul setelahnya,” kata Flora Champenois dari Global Energy Monitor.
Lead Analyst dari Centre for Research on Energy and Clean Air, Lauri Myllyvirta mengatakan bahwa banyak negara berkembang yang sudah memangkas rencana mereka untuk membangun PLTU batu bara baru, dengan penurunan terbesar terjadi di India, Vietnam, Bangladesh, dan Mesir.
Negara maju telah mengumumkan rencana baru untuk penghentian batu bara dan pemensiunan PLTU. Oleh karena itu negara dengan target nol emisi yang belum memiliki target penghentian batu bara harus lebih serius.
“Di Cina, rencana untuk pembangunan PLTU baru bara baru tetap diumumkan, idealnya, ambisi pemerintah Cina untuk meningkatkan produksi energi bersih pada 2025 berarti harus dilakukan bersamaan dengan penurunan pengoperasian PLTU batu bara walau kapasitas meningkat. Jika rencana PLTU batu bara baru tidak dikontrol, maka overcapacity dapat menghambat dan mempersulit transisi energi di Cina,” kata Lauri.
“Dampak dari invasi Rusia ke Ukraina pada pasar energi global telah memperjelas situasi yang kita sudah ketahui – membangun PLTU batu bara baru adalah kesalahan yang mahal,” kata Leo Roberts dari E3G.
Dia menjelaskan bahwa analisa menunjukkan bahwa banyak negara di dunia yang telah menyadari hal ini dan telah berpaling dari proyek PLTU batu bara baru, namun masih banyak yang belum mengikuti.
“Negara-negara ini masih mempertimbangkan proyek PLTU baru pada tahun 2022 dan secara terbuka menerima harga tinggi untuk konsumen, risiko aset terdampar, dan kerentanan energi untuk memperkuat ekonominya,” kata Leo.
Di sisi lain, laporan ini juga menggarisbawahi bahwa meski kapasitas PLTU dunia mengalami penurunan, jumlah listrik yang dihasilkan dari batu bara meningkat hingga 9% pada 2021. Meningkat 4 poin persetase dari penurunan pada 2020 sebesar 5% karena pandemi Covid-19.