Pengusaha Warung Tegal atau Warteg khawatir terjadi kelangkaan tabung elpiji 3 kilogram yang disebabkan oleh adanya migrasi dari sejumlah pengguna elpiji Bright Gas non subsidi 5,5 kg dan 12 kg.
Kekhawatiran tersebut didasari karena PT Pertamina kembali menaikkan harga elpiji Bright Gas juga sekira Rp 2.000 per kg. Ketetapan tersebut membuat harga jual elpiji non subsidi 5,5 kg naik Rp 11 ribu per tabung dan Rp 24 ribu untuk elpiji 12 kg.
Ketua Koperasi Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Mukroni, mengatakan jika kenaikkan harga elpiji non subsidi berpotensi menyebabkan kelangkaan elpiji 3 kg di pasaran. Mukroni menilai, kondisi yang demikian akan menyulitkan masyarakat dan pengusaha kecil untuk memperoleh jatah elpiji bersubsidi.
Dia menambahkan, apabila terjadi kelangkaan pada elpiji 3 kg, para pengusaha warteg harus merogoh kocek lebih dalam untuk biaya operasional di tengah kenaikan harga sejumlah bahan pangan, seperti cabai rawit merah yang menyentuh Rp 129 ribu per kg.
Walau begitu, Mukroni mengatakan tak semua pengusaha warteg bisa bertahan untuk menghadapi tingginya harga operasional. Banyak dari mereka yang boncos dan memilih untuk tutup sementara sembari menunggu harga kembali normal.
"Kami tidak mengharapkan ada migrasi pengguna gas 12 kg ke 3 kg melon karena ada perbedaan harga yang banyak, sehingga bisa menimbulkan kelangkaan stok gas melon. Kami pedagang warteg masih banyak yang menggunakan elpiji 3 kg," kata Mukroni saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (11/7).
Guna mengantisipasi kelangkaan elpiji 3 kg, Mukroni berharap pemerintah selalu aktif memantau kesediaan gas melon untuk usaha kecil, termasuk warteg. Ia pun meminta pemerintah untuk lebih sensitif kepada nasib rakyat kecil dengan menurunkan harga sembako. "Di masa daya beli belum pulih, kok pemerintah malah menambah beban jika ada kelangkaan stok gas 3 kg," sambung Mukroni.
Pasca kenaikan harga pada Minggu (11/7), harga isi ulang elpiji non subsidi di Ibu Kota Jakarta berkisar Rp 100 ribu per tabung, untuk ukuran 5,5 kg, sedangkan Rp 213 ribu untuk tabung 12 kg. Harga tersebut melonjak dari Rp 88 ribu untuk elpiji 5,5 kg dan Rp 187 ribu untuk elpiji 12 kg. Berdasarkan data Pertamina, porsi penggunaan gas subsidi mencapai 93 % per Januari 2022. Sementara, sisa 7 % adalah penggunaan gas non subsidi.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, mengatakan kenaikan harga BBM dan elpiji non subsidi di tengah meroketnya harga barang-barang pokok dapat meningkatkan inflasi. Hal ini ditambah dengan kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih pasca hantaman Pandemi Covid-19.
Mulyanto menilai, kenaikan harga BBM dan elpiji non subsidi akan menghantam pengusaha kecil dan mikro untuk mendapatkan BBM dan elpiji subsidi.
"Ini harus dijamin pemerintah. Karena yang naik itu komoditas umum atau non subsidi, maka Keputusannya murni dari pihak Pemerintah, tanpa keterlibatan DPR," kata Mulyanto melalui pesan singkat pada Senin (11/7).
Di sisi lain, Mulyanto memahami kenaikan harga minyak dan gas dunia memberi tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan keuangan Pertamina. Namun, dia meminta besaran kenaikan harga BBM dan elpiji non subsidi harus mempertimbangkan daya beli masyarakat. "Kenaikan harga migas dunia sangat berdampak kepada kita sebagai negara net importir migas," ujar Mulyanto.
Sebelumnya diberitakan, PT Pertamina kembali menaikkan harga BBM non-subsidi jenis Pertamax Turbo dan Dex Series, serta LPG non-subsidi jenis Bright Gas pada pekan ini. Harga Pertamax Turbo yang sebelumnya dijual Rp 14.500 per liter sekarang menjadi Rp 16.200 per liter, Pertamina Dex yang semula Rp 13.700 kini menjadi Rp 16.500 per liter.
Sementara itu, harga Dexlite naik dari Rp 12.950 naik menjadi Rp 15.000 per liter. Adapun harga LPG Bright Gas juga naik sekitar Rp 2.000 per kg. "Harga bahan bakar berlaku mulai 10 Juli 2022," menurut pernyataan resmi Pertamina di laman MyPertamina, Minggu (10/7).
Pertamina menyatakan, porsi produk Pertamax Turbo dan Dex Series hanya 5 % dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan, porsi produk LPG non-subsidi hanya 6 % dari total komposisi LPG nasional.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menjelaskan, alasan kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi karena mengikuti perkembangan harga minyak dan gas (Migas) dunia. Pada Juni 2022, harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) senilai US$ 117,62 atau lebih tinggi 37 % dibanding harga pada Januari 2020.
Sementara itu, harga LPG berdasarkan contract price Aramco (CPA) bulan lalu menyentuh angka 725 metrik ton atau lebih tinggi 13 % dibanding harga rata-rata sepanjang tahun lalu. Irto mengklaim meski ada kebijakan penyesuaian harga, tapi harga itu masih terbilang kompetitif dibanding produk sejenis yang dijual oleh sejumlah perusahaan penyalur BBM dan LPG di Indonesia.