SKK Migas memperkirakan nilai proyek Abadi LNG Blok Masela bengkak US$ 1,3 miliar atau Rp 19,3 trilun (kurs Rp 14.900). Hal itu terjadi apabila proyek tersebut ditambah fasilitas penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilisation, and storage (CCUS) ke dalam rencana pengembangan (POD).
"Inpex sebagai pengelola Blok Masela sudah selesai studi CCUS, diperkirakan bisa sampai US$ 1,3 miliar," kata Kepala SKK Migas Dwi Soejipto saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (22/8).
SKK Migas juga akan mengupayakan agar Inpex mendapat mitra tahun ini setelah Shell memutuskan hengkang. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada tanda-tanda Inpex dilirik oleh calon mitra.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan arahan kepada Menteri Investasi Bahlil Lahadalia agar segera menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan migas nasional untuk menjalankan pengembangan proyek Lapangan Abadi LNG, Blok Masela. Arahan Presiden Jokowi langsung disikapi oleh SKK Migas dengan segera menjalin komunikasi bersama PT Pertamina.
SKK Migas bersama Pertamina sedang membahas soal besaran persentase hak pengelolaan yang bakal mereka ambil dari Shell. Adapun Shell saat ini memiliki hak pengelolaan proyek LNG Masela sebesar 35% yang sejatinya ingin mereka lepas sejak sejak dua tahun lalu.
"Pertamina tertarik untuk ikut, karena memang pemerintah juga mengharapkan pertamina bisa ikut ya. Pertamina sedang mempelajari open data wilayah kerja itu dan bisa masuk berapa persen, jadi masuk apa engga, berapa persen masuknya," sambungnya.
Dwi belum bisa memastikan apakah Pertamina sanggup mengambil 35% atau seluruh hak pengelolaan proyek LNG Masela. Porsi persentase yang bakal diambil oleh Pertamina tergantung pada posisi keuangan perusahaan Migas nasional tersebut.
"Apakah bisa langsung mengambil seluruh bagiannya Shell atau berapa persen, sehingga pemerintah masih harus mencari mitra yang lain kalau memang tidak bisa diambil oleh satu pihak," ujar Dwi.
Dwi juga menjelaskan bahwa proyek Blok Masela kemungkinan bakal digarap oleh tiga sampai empat perusahaan migas secara bersamaan. Hal ini berbeda dari rencana awal yang mengatur pengerjaan Blok Masela oleh hanya dua perusahaan Migas yakni Inpex dan Shell.
"Kalau yang lalu konsorsiumnya itu Inpex bersama Shell, mungkin ke depannya ini lebih dari itu. Bisa tiga, bisa empat. Tentu dengan mempertimbangkan kesediaan inpex. Seperti orang pacaran yang dipaksa kan gak enak juga," ucap Dwi.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) menilai langkah Presiden Joko Widodo yang meminta BUMN atau perusahaan minyak dan gas bumi nasional untuk menggantikan Shell di proyek Lapangan Abadi LNG Blok Masela tidak tepat. Direktur Eksekutif Aspermigas, Moshe Rizal menyebutkan arahan Jokowi untuk mengambil 35% hak partisipasi yang ingin dilepas Shell sejak dua tahun lalu merupakan keputusan gegabah.
Menurut moshe, perusahaan migas nasional seperti Pertamina tak akan kuat menanggung beban US$ 2 miliar untuk membeli hak partisipasi dan investasi pengembangan yang mencapai US$ 19,85 miliar. "Pertamina saat ini sudah cukup kewalahan dengan Blok Rokan dan Blok Mahakam. Kalau ditambah dengan Masela ujung-ujungnya pemerintah yang bakal menyuntik dana ke Pertamina. Ini harus dipikirkan, jangan gegabah," kata Moshe kepada Katadata.co.id, Selasa (2/8).
Menurut Moshe, Pertamina sudah terlanjur menghabiskan belanja modal atau capital expenditure (capex)-nya yang relatif tinggi pada beberapa wilayah kerja (WK) Migas besar seperti di Rokan dan Mahakam. Apalagi produksi migas dari dua lapangan itu cenderung susut dari tahun ke tahun.
Moshe menambahkan, biaya untuk Blok Masela jauh lebih besar daripada blok migas lainnya seperti Blok Rokan dan Mahakam yang merupakan sumur produksi. Pasalnya, Blok Masela masih dalam tahap pengembangan.
"Kalau Masela dalam lima tahun ke depan setelah produksi belum tentu ada pemasukan. Belum ada pemasukan hanya pengeluaran. Jadi harus pikir-pikir dulu," tukas Moche.
Realisasi produksi migas Pertamina pada Januari-Mei 2022 tercatat sebesar 966 juta barel ekuivalen minyak per hari (mboepd). Produksi ini 8% lebih besar dari realisasi 897 mboepd pada 2021.
Meski begitu, produksi ini masih di bawah target Pertamina tahun 2022, yakni 1.047 mboepd atau 17% lebih tinggi dari realisasi 2021.