Harga minyak naik pada penutupan Jumat (21/10), atau Sabtu (22/10) waktu Indonesia bagian barat (WIB). Peningkatan harga ini, ditopang harapan adanya peningkatan permintaan dari Cina.
Harapan peningkatan permintaan dari Cina ini, rupanya melebihi kekhawatiran terkait penurunan ekonomi global, dan dampak kenaikan suku bunga pada penggunaan bahan bakar.
Seperti diketahui, untuk meredam inflasi, bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) akan terus menaikkan target suku bunga jangka pendeknya.
Namun, minyak mentah mendapatkan momentum dari larangan Uni Eropa terhadap minyak Rusia, serta pengurangan produksi sebanyak 2 juta barel per hari baru-baru ini, yang disepakati oleh organisasi negara pengekspor minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+.
Pada penutupan perdagangan Jumat (21/10), minyak mentah Brent berada di level US$ 93,5 per barel, naik US$ 1,12, atau 1,2%. Sementara, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 85,05 per barel, naik 54 sen, atau 0,6%. Selama sepekan, Brent telah naik 2%, sementara WTI turun sekitar 0,7%.
Brent, yang mendekati level tertinggi sepanjang masa di US$ 147 pada Maret, berada di jalur kenaikan mingguan sebesar 0,8%. Sementara, minyak mentah AS menuju kerugian sekitar 1,5%. Kedua tolok ukur tersebut, turun pada minggu sebelumnya.
Mengenai pemotongan OPEC+, yang dikritik oleh AS, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, kelompok produsen melakukan pekerjaan yang tepat untuk memastikan pasar minyak yang stabil dan berkelanjutan.
Pada Kamis (20/10), harga minyak naik setelah Bloomberg News melaporkan, bahwa Cina sedang mempertimbangkan untuk memotong periode karantina bagi pengunjung menjadi tujuh hari dari 10 hari. Meski demikian, hingga saat ini belum ada konfirmasi resmi dari Beijing.
"Tindakan ini memberikan gambaran yang berguna tentang apa yang diharapkan setelah pembatasan hukuman dicabut lagi," kata Pialang PVM Stephen Brennock, dikutip dari Reuters.
Cina, importir minyak mentah terbesar di dunia, sebelumnya telah menerapkan pembatasan ketat sebagai respons atas pandemi Covid-19, yang sangat membebani aktivitas bisnis dan ekonomi, serta mengurangi permintaan bahan bakar.