Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia melempar wacana untuk mendirikan organisasi negara-negara penghasil nikel layaknya organisasi negara penghasil minyak, The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman berharap bahwa pernyataan yang diutarakan oleh Bahlil pada saat melakukan pertemuan dengan Menteri Perdagangan Internasional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekonomi Kanada, Mary Ng, di sela KTT G20 pada 15 November lalu bisa segera direalisasikan.
Dia menilai langkah Indonesia untuk menjadi inisiator pendirian organisasi negara penghasil nikel dunia bisa berdampak positif bagi pengelolaan bisnis pertambangan nasional. Selain itu, tergabungnya Indonesia di dalam organisasi tersebut bisa menjadi peluang untuk menaruh kendali atas harga nikel global.
"Kalau Indonesia tergabung di dalam organisasi itu, untungnya besar karena organisasi itu bisa menentukan harga nikel global," ujar Ferdy kepada Katadata.co.id, Kamis (17/11).
Kendati demikian, Ferdy menyebut agar pemerintah melakukan kajian terlebih dulu sebelum mengambil langkah lebih lanjut. Kemudian menyiapkan infrastruktur industri pendukung berupa memperbanyak pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di dalam negeri dan memperkuat infrstruktur logistik untuk keperluan ekspor.
"Jangan sampai seperti OPEC dulu, kita dulu terlalu semangat masuk ke dalam negara-negara penghasil minyak, tapi minyak kita tergerus paling banyak dan kita jadi negara yang ke luar lebih cepat," tutur Ferdy.
Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah diharap bisa merangkul Australia, Filipina, dan Rusia agar masuk ke dalam organisasi tersebut. Alasannya, ketiga negara itu merupakan negara produsen nikel tersebesar dunia.
"Kalau benar pemerintah mau membentuk organisasi negara penghasil nikel, tentu harus ada Filipina, Australia dan Rusia di dalamnya, karena mereka produsen nikel terbesar dunia," kata Ferdy.
Menurut data badan survei geologis Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survey, produksi nikel Tanah Air mencapai 1 juta metrik ton pada 2021 atau menyumbang 37,04% nikel dunia.
Negara tetangga Indonesia, yakni Filipina, menempati urutan kedua produsen nikel terbesar dengan produksi sebanyak 370 ribu metrik ton. Rusia berada di urutan berikutnya dengan produksi nikel sebanyak 250 ribu metrik ton.
Selanjutnya, di posisi nomor tiga ditempati oleh Kaledonia Baru. Negara yang terletak di Samudara Pasifik ini mampu memproduksi nikel hingga 190 ribu metrik ton dan posisi ke empat ada Australia dengan 160 ribu per ton.
Saat ini menjadi salah satu komoditas strategis seiring menjamurnya tren transisi energi di dunia sebagai elemen penting untuk memproduksi baterai berbagai peralatan elektronik, termasuk untuk mobil listrik.
Adapun lebih dari 90% cadangan nikel Indonesia tersebar di beberapa wilayah seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Salah satu perusahaan tambang yang terdapat di daerah tersebut adalah MIND ID lewat PT Aneka Tambang atau ANTAM.
"Wacana ini sangat stragis untuk perusahaan BUMN, terutama MIND bisa menjadi jangkar untuk pengembangan baterai kendaraan listrik," ujar Ferdy.
Sebelumnya Bahlil mengatakan selama ini negara-negara industri produsen kendaraan listrik kerap melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.
"Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ujarnya di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11).
Bahlil mengatakan, adanya organisasi seperti OPEC untuk negara penghasil nikel dapat mengoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. Apalagi, Indonesia saat ini sedang memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.