RI akan Setop Ekspor, Tembaga Penting Untuk Konstruksi, EBT, hingga EV

Wahyu Dwi Jayanti | KATADATA
Suasana pabrik pemurni tembaga PT Smelting, Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/6/2019)
Penulis: Happy Fajrian
17/1/2023, 16.00 WIB

Pemerintah berencana menyetop ekspor tembaga pada pertengahan tahun ini. Langkah tersebut merupakan bagian dari rencana industrialisasi Presiden Joko Widodo alias Jokowi, pada sisa masa pemerintahannya.

Jokowi bahkan tak gentar jika kebijakan ini kembali digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kalah seperti halnya nikel. Menurutnya, kebijakan larangan ekspor tembaga merupakan usaha negara untuk menjadi mandiri.

“Soal kebijakan larangan ekspor nikel kalah di WTO, kita tetap terus. Justru kita setop (ekspor) bauksit pada Desember tahun lalu, dan pertengahan tahun (ini) mungkin tambah lagi setop ekspor tembaga,” ujarnya di acara HUT PDIP ke-50 beberapa waktu lalu, Selasa (10/1).

Lalu seberapa berharga komoditas ini? Saat ini tembaga diperdagangkan pada level US$ 9.076 per ton. Sejak awal tahun hingga hari ini, Selasa (17/1), harga tembaga telah naik 8,27% dari US$ 8.386 pada akhir 2022.

Mengutip data Markets Insider, harga tembaga sempat menyentuh level tertingginya sepanjang masa pada April 2022 di level US$ 10.425,85 per ton yang disebabkan tingginya permintaan di tengah pasokan yang ketat sebagai dampak dari kebijakan penguncian (lockdown) Covid-19.

Ketika ekonomi terbesar dunia tampaknya mulai bangkit dari pandemi, permintaan logam ini kembali meningkat. Namun di saat yang sama kegiatan penambangan dan pemurnian tembaga tidak dapat mengimbangi kebangkitan kegiatan ekonomi.

Dipakai Sektor Konstruksi, Kelistrikan, hingga EBT dan Kendaraan Listrik

Permintaan telah lama menjadi salah satu faktor penentu harga tembaga. Penggunaan tembaga yang terus meningkat dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari konstruksi bangunan dan jaringan listrik hingga produk elektronik dan peralatan rumah tangga, menjadikannya logam yang paling banyak dikonsumsi ketiga di dunia.

Sifat anti-korosif dan sangat konduktif dari tembaga adalah alasan mengapa tembaga menjadi logam pilihan untuk industri konstruksi, misalnya, dalam pipa tembaga dan kabel tembaga. Faktanya, sektor konstruksi bertanggung jawab atas hampir setengah dari konsumsi tembaga global.

Meningkatnya permintaan untuk rumah baru dan renovasi rumah di ekonomi Asia dan barat diperkirakan akan mendukung harga tembaga dalam jangka panjang.

Dalam beberapa dekade terakhir, lonjakan harga tembaga sangat terkait dengan meningkatnya permintaan dari Cina karena kekuatan ekonomi itu menyuntikkan dana yang didukung pemerintah ke perumahan dan infrastruktur baru. Ini melambungkan harga tembaga.

Selain itu, sifat konduktif tembaga semakin dicari untuk digunakan dalam aplikasi energi terbarukan. Namun, pendorong konsumsi tembaga terbesar di sektor energi terbarukan adalah meningkatnya permintaan global untuk kendaraan listrik (EV), infrastruktur pengisian daya EV, dan aplikasi penyimpanan energi.

Mobil listrik baterai Toyota bZ4X (Katadata)

Saat pemerintah mendorong elektrifikasi jaringan transportasi dan prakarsa penyimpanan energi sebagai sarana untuk memerangi perubahan iklim, permintaan tembaga dari segmen ini diperkirakan akan meningkat.

Eropa menjadi basis yang kuat untuk konsumsi tembaga seiring pertumbuhan sektor energi terbarukannya. Pada 2021, Eropa memimpin penjualan EV dunia, dengan total sekitar 2,3 juta unit terjual, dan analis memperkirakan tren itu akan berlanjut di tahun-tahun mendatang.

Sementara kendaraan bermesin pembakaran internal menggunakan sekitar 22 kilogram tembaga, EV hibrida menggunakan 40 kilogram, EV hibrida plug-in menggunakan 55 kilogram, EV baterai menggunakan 80 kilogram, dan bus listrik baterai menggunakan 253 kilogram.

Analis tembaga dari Wood Mackenzie, Eleni Joannides, mengatakan bahwa jumlah tembaga yang dibutuhkan Eropa untuk memenuhi perkiraan permintaan EV akan bergantung pada jenis EV yang memicu minat konsumen.

Proyeksi Harga Tembaga

Di sisi pasokan pasar tembaga, tambang tembaga terbesar di dunia menghadapi menipisnya sumber daya tembaga bermutu tinggi, sementara selama dekade terakhir atau lebih, penemuan tembaga baru semakin sedikit.

Pandemi memperburuk situasi karena kegiatan pertambangan di beberapa negara penghasil tembaga teratas menghadapi penghentian pekerjaan dan perusahaan tembaga menunda investasi dalam eksplorasi dan pengembangan lebih lanjut.

Ini adalah masalah yang menantang mengingat perlu waktu 10 hingga 20 tahun untuk memindahkan proyek dari penemuan ke produksi. Selain itu, investasi yang tertunda di tengah pandemi juga akan berdampak jangka panjang terhadap pasokan tembaga.

Analis Rystad Energy memperkirakan bahwa permintaan tembaga akan melampaui pasokan lebih dari 6 juta metrik ton pada 2030. Defisit sebesar ini akan berdampak luas untuk transisi energi karena saat ini tidak ada pengganti tembaga dalam aplikasi listrik.

“Investasi yang signifikan dalam penambangan tembaga diperlukan untuk menghindari kekurangan tersebut,” kata mereka dalam sebuah catatan seperti dikutip dari Investing News pada Selasa (17/1).

Lonjakan permintaan ini salah satunya didorong oleh Cina yang telah mencabut kebijakan zero COVID-nya yang sebelumnya menekan permintaan logam dunia. Pencabutan kebijakan pembatasan ketat Covid-19 Cina berpotensi menimbulkan lonjakan kasus baru, namun berpotensi mengerek permintaan logam seperti tembaga.

Menurut riset Fitch Solutions Country Risk and Industry Research, konsumsi tembaga Cina tahun ini diproyeksikan naik 4,4% menjadi 14,8 juta ton. “Sebagian besar investor melihat melalui gejolak itu pada potensi permintaan tembaga Cina untuk bergerak naik," kata Shah.

Dia memperkirakan pasokan tembaga akan tetap ketat tahun ini sehingga berdampak pada harga yang lebih tinggi. “(Harga) di atas $10.000 per ton seharusnya tak sulit untuk dicapai,” katanya.