Kementerian ESDM memproyeksikan hasil campuran larutan bioetanol 5% atau E5 dengan bensin jenis Pertamax dapat meningkatkan angka oktan dari 92 menjadi maksimum 96.
Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji mengatakan bahwa besaran nilai oktan tersebut dapat terus meningkat mengikuti porsi campuran bioetanol. "Kalau sekarang masih 5%, oktan Pertamax bisa 94 sampai 96," kata Tutuka saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Rabu (1/3).
Tutuka mengatakan, makin tinggi kandungan bioetanol yang dilarutkan ke dalam Pertamax, kualitas oktannya akan lebih baik dan menghasilkan gas bakar yang rendah emisi. "Etanol kan semacam alkohol, makin banyak campurannya maka akan semakin tinggi (angka oktan)," ujar Tutuka.
Meski pemerintah berencana untuk melaksanakan uji coba pencampuran bioetanol E5 dengan bensin jenis Pertamax pada pertengahan tahun ini, Tutuka belum bisa memberikan gambaran pasti soal harga jual Pertamax hasil program E5.
Menurutnya, hasil uji coba distribusi E5 di Surabaya, Jawa Timur tersebut akan menjadi bahan evaluasi untuk penentuan harga jual Pertamax apabila terjadi perluasan distribusi pada program tersebut. "Ini belum diterapkan secara massal, jadi belum berpengaruh pada harga. Tidak berdampak," kata Tutuka.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menjelaskan bahwa bioetanol bisa menjadi bahan campuran bagi seluruh bahan bakar jenis bensin seperti Pertalite, Pertamax hingga Pertamax Turbo.
Namun pemerintah mengerucutkan sasaran uji coba campuran bioetanol dengan Pertamax. Dadan mengatakan bahwa pencampuran dengan Pertamax lebih ekonomis dibandingkan dengan Pertalite. Pasalnya harga Pertamax dan bioetanol relatif sama, yakni di kisaran Rp 12.000-13.000 per liter.
Sehingga, implementasinya dinilai bisa menciptakan stabilitas harga yang lebih ekonomis saat kebijakan ini diterapkan secara luas. "Sekarang kami melihatnya ke Pertamax supaya implementasinya lebih cepat," kata Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (20/2).
Sedangkan, lanjut Dadan, pencampuran E5 pada Pertalite yang merupakan BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau BBM bersubsidi, berpotensi memunculkan selisih harga yang harus dibayarkan pemerintah.
Selisih ini timbul dari harga jual Pertalite yang berada di angka Rp 10 ribu per liter. "Kalau dicampur Pertalite nanti akan ada komponen harga tambahan yang harus dicari cara penyelesaiannya," kata Dadan.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa uji coba penyaluran perdana bioetanol E5 akan dilangsungkan di SPBU khusus di Surabaya. Pemilihan Kota Pahlawan dilatarbelakangi oleh lokasinya yang dekat dengan produsen bahan baku bioetanol di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Malang.
Erick menjelaskan bahwa distribusi bioetanol membutuhkan proses logistik yang lebih kompleks daripada bahan bakar minyak atau BBM. Sifat bioetanol yang cepat busuk karena terbuat dari material tumbuh-tumbuhan mewajibkan penyalurannya harus dekat dan terjangkau dari lokasi pabrik.
"Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh pom bensinnya atau lokasi pengisiannya karena itu bisa busuk," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR pada Senin (13/2).
Dia menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan uji coba kebijakan intervensi bahan bakar ini bisa berjalan pada semester I tahun ini. "Uji cobanya nanti di Surabaya sekira 3 atau 4 bulan lagi," ujar Erick.
Adapun produksi bioetanol domestik berasal dari tiga pabrik. Diantaranya dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dengan 30.000 kilo liter (kl), PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang dengan 10.000 kl, dan 3.600 kl dari PT Madu Baru di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.