ESDM Hitung Harga Pertamax Naik Rp 237/Liter Jika Dicampur Bioetanol

ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.
Polisi melakukan pengamanan saat berlangsungnya pemasangan informasi harga terbaru bahan bakar minyak (BBM) di salah satu SPBU kawasan Kota Banda Aceh, Aceh, Sabtu (3/9/2022). Pemerintah menetapkan harga Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter, Solar subsidi dari Rp5.150 per liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp12.500 jadi Rp14.500 per liter berlaku pada Sabtu 3 September 2022 mulai pukul 14.30 WIB.
1/3/2023, 15.25 WIB

Kementerian ESDM menghitung harga Pertamax akan naik Rp 237 per liter jika dicampur dengan bioetanol 5% atau E5. Pemerintah akan mulai mencampur bensin dengan bioetanol tahun ini sebagai upaya untuk menekan impor BBM dan menurunkan emisi karbon.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, menyampaikan bahwa pencampuran etanol kepada BBM Pertamax bakal mengerek harga jual bensin beroktan 92 tersebut.

"Untuk perkiraan harga jual pertamax E5, ada penambahan biaya dibandingkan Pertamax sekitar Rp 237 per liter," kata Dadan kepada Katadata.co.id, melalui pesan singkat WhatsApp pada Rabu (1/3).

Selain itu, kata Dadan, program E5 juga meningkatkan angka oktan Pertamax menjadi di atas 92. Penambahan 1% bioetanol ke dalam bensin dapat meningkatkan oktan sekitar 0,2-0,3 angka oktan. "Maka penambahan bioetanol 5% dapat meningkatkan oktan sekitar 1 sampai 1,5 dari oktan normal Pertamax" ujar Dadan.

Dadan menjelaskan bahwa bioetanol bisa menjadi bahan campuran bagi seluruh bahan bakar jenis bensin seperti Pertalite, Pertamax hingga Pertamax Turbo.

Namun pemerintah mengerucutkan sasaran uji coba campuran bioetanol dengan Pertamax. Dadan mengatakan bahwa pencampuran dengan Pertamax lebih ekonomis dibandingkan dengan Pertalite. Pasalnya harga Pertamax dan bioetanol relatif sama, yakni di kisaran Rp 12.000-13.000 per liter.

Sehingga, implementasinya dinilai bisa menciptakan stabilitas harga yang lebih ekonomis saat kebijakan ini diterapkan secara luas. "Sekarang kami melihatnya ke Pertamax supaya implementasinya lebih cepat," kata Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (20/2).

Sedangkan, lanjut Dadan, pencampuran E5 pada Pertalite yang merupakan BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau BBM bersubsidi, berpotensi memunculkan selisih harga yang harus dibayarkan pemerintah. Selisih ini timbul dari harga jual Pertalite yang berada di angka Rp 10 ribu per liter.

"Kalau dicampur Pertalite nanti akan ada komponen harga tambahan yang harus dicari cara penyelesaiannya," ujar Dadan.

Adapun impelementasi program E5 secara luas dipercaya bisa menekan penggunaan energi fosil di sektor transportasi sekaligus mengurangi porsi impor BBM. Uji coba distribusi E5 juga mendapat tanggapan positif dari badan usaha PT Pertamina sebagai pihak distributor tunggal atau offtaker.

Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan bahwa perseroan saat ini telah menjalin komunikasi dengan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN sebagai penyedia suplai bioetanol untuk program E5.

"Prinsipnya kami dukung berbagai alternatif penyediaan energi. Jangan sampai hanya mengandalkan energi fosil," ujar Irto saat ditemui wartawan selepas acara Economic Outlook 2023 CNBC di The St. Regis Hotel Jakarta pada Selasa (28/2).

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa uji coba penyaluran perdana bioetanol E5 akan dilangsungkan di SPBU khusus di Surabaya. Pemilihan Kota Pahlawan dilatarbelakangi oleh lokasinya yang dekat dengan produsen bahan baku bioetanol di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Malang.

Erick menjelaskan bahwa distribusi bioetanol membutuhkan proses logistik yang lebih kompleks daripada bahan bakar minyak atau BBM. Sifat bioetanol yang cepat busuk karena terbuat dari material tumbuh-tumbuhan mewajibkan penyalurannya harus dekat dan terjangkau dari lokasi pabrik.

"Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh pom bensinnya atau lokasi pengisiannya karena itu bisa busuk," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR pada Senin (13/2).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu