Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) melaporkan, mayoritas pelaku usaha lebih tertarik mendistribusikan produk mereka ke pasar luar negeri ketimbang menjualnya kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Alasannya, pelaku usaha menilai pasar ekspor menawarkan harga yang lebih menjanjikan dibanding penawaran dari pasar domestik.

Ketua Umum MEBI, Milton Pakpahan, mengatakan pencapaian suplai biomassa untuk 36 pembangkit listrik PLN pada 2022 hanya menyentuh angka 600.000 ton. Angka itu masih jauh dari target suplai sebanyak 10,2 juta ton pada 2025.

"Sampai sekarang belum ada satupun suplai biomasa co-firing jangka panjang, sementara pasar ekspor semakin besar dan menjanjikan harga yang sangat tinggi," kata Milton lewat pesan singkat pada Kamis (4/5).

Pernyataan Milton sekaligus menanggapi keluhan PLN yang menilai suplai biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara belum optimal, seiring ketersediaan bahan baku yang terbatas. Pasokan biomassa sejauh ini masih berasal dari produk sampingan.

Menurut PLN, harga Biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT batu bara. Hal tersebut berimbas pada sikap para produsen yang memilih menjual hasil biomassa mereka ke pasar ekspor. "Memang yang dikatakan PLN itu benar," ujar Milton.

Untuk menekan volume ekspor biomassa, MEBI mendorong pemerintah agar segera melengkapi regulasi bisnis terkait energi biomassa, terutama Peraturan Menter (Permen) ESDM tentang Co-firing.

Regulasi itu diharapkan bisa menjadi instrumen yang mampu menjawab tantangan ihwal disparitas harga biomasa untuk tiga pasar berbeda, yakni biomassa untuk pasar ekspor, biomassa untuk domestik non energi dan harga biomassa untuk listrik domestik.

"Tiga pasar itu dengan urutan harga tinggi ke rendah," kata Milton.

Lebih lanjut, kata Milton, harga bahan baku biomassa limbah naik, seiring dinamika permintaan biomasa yang meningkat tajam. Ini terjadi karena program co-firing dari pemintaan industri domestik serta pasar ekspor telah membentuk harga bahan baku biomassa limbah yang tinggi di sejumlah lokasi. Khususnya serbuk gergaji, sekam padi dan tandan kosong sawit.

"Semua peran ini hanya bisa dilaksanakan jika tersedia suplai biomassa yang sustain sehingga bisa menjamin suatu perjanjian jual-beli listrik, menjamin suplai jangka panjang untuk beragam industri domestik dan untuk tujuan ekspor," ujar Milton.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Mamit Setiawan, mengatakan serapan konsumsi biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023. Angka ini setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini.

Menurut Mamit, Indonesia akan mengalami sejumlah kerugian akibat Biomassa diekspor. Pengembangan energi hijau akan terhambat, di sisi lain pemenuhan energi dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi oleh impor energi fosil berupa BBM dan elpliji yang mahal.

"Produksi biomassa domestik tentu perlu energi yang memunculkan peningkatan emisi karbon. Namun bila diekspor maka penggunaan biomassa dengan emisi rendah akan dinikmati negara lain. Peningkatan emisi di Indonesia, sementara penurunan emisi di negara lain," ujar Mamit.

Mamit menjelaskan regulasi terkait biomassa saat ini merupakan hal baru di internal PLN. Perusahaan pelat merah itu berharap dapat memeroleh dukungan regulasi dari pemerintah.

Dukungan tersebut di antaranya jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir. "PLN EPI terus melakukan pengembangan ekosistem penyediaan biomass baik berupa sinergi BUMN, dengan Pemerintah Daerah dan swasta," ujar Mamit.

Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap.

Regulasi ini akan menjadi acuan dalam pemanfaatan biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). "Saat ini rancangan tersebut masih difinalisasi dan didiskusikan secara teknis dengan pemangku kepentingan terkait," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana lewat pesan singkat WhatsApp pada Rabu (26/4).

Apabila rancangan permen tersebut sudah selesai dibahas, selanjutnya akan diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses harmonisasi dan diajukan ke Kementerian Sekretariat Negara untuk mendapatkan izin prinsip dari presiden. "Izin prinsip itu penting sebelum dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM," ujar Dadan.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu