Uni Eropa berencana untuk menghentikan pemberian subsidi energi fosil secara bertahap paling cepat pada 2025 atau 2030. Mereka sepakat untuk mengakhiri dukungan pemerintah terhadap bahan bakar ini sesegera mungkin.
Ini menjadi upaya terbaru Benua Biru untuk menurunkan emisi karbon demi mencapai target Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global maksimal 1,5°Celcius untuk mencegah efek terburuk dari perubahan iklim dan pemanasan global.
Mengutip laporan European Environment Agency (EEA) subsidi bahan bakar fosil yang digelontorkan kawasan ini sekitar € 52 miliar atau lebih dari Rp 860 triliun per tahun selama periode 2015 hingga 2021. Mayoritas dialokasikan untuk minyak, lalu gas alam, batu bara, dan jenis energi fosil lainnya.
Pada periode 2015-2018 terjadi peningkatan subsidi sebesar € 3 miliar (Rp 50 triliun) karena naiknya subsidi di sektor transportasi. Pada 2018 ke 2019 terjadi penurunan subsidi sebesar € 1 miliar (Rp 16 triliun) terutama dari sektor energi dan industri.
Lalu pada 2019-2020 terjadi penurunan € 3 miliar karena turunnya aktivitas transportasi sebagai akibat dari kebijakan penguncian wilayah (lockdown) pandemi Covid-19.
EEA menyebut sebagian besar negara UE belum memiliki rencana konkrit mengenai bagaimana dan kapan mereka akan menghapuskan subsidi ini. Selain itu, sebagai respons terhadap tingginya harga energi baru-baru ini, beberapa negara malah meningkatkan subsidi bahan bakar fosil.
“Oleh karena itu, kecil kemungkinannya UE akan membuat banyak kemajuan dalam penghapusan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap pada tahun 2030,” kata European Environment Agency (EEA) dalam laporannya, dikutip Selasa (17/10).
EEA mengatakan bahwa bahan bakar fosil merupakan sumber energi tak terbarukan, dan produksi serta penggunaannya berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan polusi.
Sejalan dengan komitmen internasional, seperti KTT G20 Pittsburgh, pakta iklim COP26 Glasgow, dan kesepakatan hijau Eropa, Program Aksi Lingkungan Kedelapan UE (EAP ke-8) menyerukan penghapusan segera subsidi bahan bakar fosil (batu bara, gas, minyak).
Negara-negara anggota UE diwajibkan untuk memasukkan dalam laporan kemajuan energi dan iklim nasional tahunan mereka informasi mengenai penghapusan subsidi energi secara bertahap, khususnya untuk bahan bakar fosil.
Berdasarkan laporan-laporan ini, banyak negara mempunyai ambisi untuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil, namun mayoritas belum mengimplementasikannya secara nyata.
Hanya sedikit yang telah mewujudkan ambisi ini ke dalam undang-undang atau rencana yang jelas yang menentukan kapan negara-negara tersebut bermaksud untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, seperti Denmark, Jerman, Irlandia, Italia, dan Swedia.
Kemudian pada Februari 2022 Rusia menginvasi Ukraina yang menyebabkan tingginya harga energi. Ini menyebabkan beberapa negara anggota UE memotong pajak cukai produk energi untuk mengurangi dampak tagihan energi yang tinggi.
Beberapa dari pemotongan ini dapat digolongkan sebagai subsidi bahan bakar fosil. “Oleh karena itu, kecil kemungkinannya bahwa kemajuan signifikan akan dicapai pada dekade ini dalam upaya penghapusan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap,” kata EEA.
EEA juga melaporkan, kemajuan dalam penghapusan subsidi bahan bakar fosil sangat bervariasi di seluruh negara anggota UE. Antara 2015 dan 2020, subsidi bahan bakar fosil mengalami penurunan di 15 negara.
Penurunan tertinggi terjadi di Swedia dan Estonia, yang masing-masing mengalami penurunan subsidi sebesar 53% dan 50%. Sebaliknya, subsidi bahan bakar fosil meningkat tajam di Siprus (262%), Malta (151%) dan Slovakia (100%).
“Perlu dicatat bahwa, dari segi nilai absolut, hampir separuh dari seluruh subsidi bahan bakar fosil yang diberikan pada 2020 dibelanjakan di dua negara: Jerman (€ 14 miliar) dan Prancis (€ 11 miliar),” tulis EEA dalam laporannya.
Sejauh mana kontribusi subsidi bahan bakar fosil terhadap perekonomian nasional juga sangat bervariasi. Subsidi bahan bakar fosil mewakili kontribusi tertinggi terhadap produk domestik bruto (PDB) di Siprus (1,3%) dan di Bulgaria, Yunani, dan Belgia (masing-masing sekitar 0,9%).