Revisi UU Migas Belum Selesai, Menteri ESDM: Beresin RUU EBET Dulu

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.
Menteri ESDM Arifin Tasrif memberikan paparan saat sarasehan di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Penulis: Mela Syaharani
10/11/2023, 16.44 WIB

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) masih dalam proses pembahasan Pemerintah. Sejumlah pihak sudah mendesak agar aturan yang sudah diajukan sejak 17 Desember 2019 itu dikebut penyelesaiannya.

Meski begitu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan RUU Migas ini akan dirampungkan tahun depan. Molornya pembahasan RUU Migas ini disebabkan oleh penyelesaian RUU lain yang dirampungkan tahun ini.

“Kami serius soal revisi UU Migas, cuma tahun ini beresin dulu RUU EBET (Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan),” ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM pada Jumat (10/11).

Berdasarkan informasi pada laman DPR RI, revisi UU Migas terdaftar dalam Program Legislasi Nasional alias Prolegnas 2020-2024.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi mengatakan Komisi Energi DPR terus berupaya untuk mengakselerasi pembahasan revisi UU Migas dan ditargetkan dapat dibahas sebelum pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

“Revisi UU Migas bisa dibahas sebelum Pilpres, semoga tahun ini bisa dibahas karena masih ada RUU EBET,“ kata Bambang beberapa waktu lalu, Senin (28/8).

Bambang menyebut, revisi UU Migas ditujukan untuk menertibkan regulasi yang kurang berpihak kepada penguatan industri migas domestik. Menurutnya, regulasi yang mengatur sektor hulu dan hilir migas masih banyak tumpah tindih, sehingga menyebabkan ketidakpastian investasi.

“RUU migas nantinya kami ingin menerima banyak masukan dan merapikan semua regulasi dan tumpang tindih atau kurang pro terhadap penguatan sektor migas dari sisi hulu maupun hilir,“ kata dia.

Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, mengatakan pengelolaan sektor hulu migas perlu diperkuat seiring penurunan produksi secara alamiah atau natural decline pada sejumlah lapangan migas. Pengelolaan migas di sektor hulu oleh SKK Migas hanya mampu menahan natural decline dan tak sanggup mendongkrak produksi migas.

“Di tengah kondisi seperti ini ditambah adanya ketidakpastian hukum menimbulkan hengkangnya pengusaha minyak seperti Total, Chevron, Conocophillips dan Shell, seperti kasus di Masela,“ kata Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII bersama SKK Migas pada Rabu (16/11/22).

Dalam revisi UU Migas, Komisi Energi menyoroti status kelembagaan SKK Migas yang hanya berdiri di atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Mereka menyebut posisi SKK Migas harus diperkuat di dalam UU agar memberikan kepastian hukum sekaligus memberikan kepastian investasi pada KKKS. Kepastian hukum ini dinilai mendesak mengingat proyek bisnis pada industri migas merupakan investasi jangka panjang yang berdurasi puluhan tahun.

“Kepastian hukum ini yang menyebabkan investor ragu-ragu, kabur. Jadi bagaimana caranya menarik investor besar untuk meningkatkan lifting apalagi mencapai 1 juta barrel tahun 2030 sementara kesungguhan kita ga ada,“ ujarnya.

Reporter: Mela Syaharani