Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa sektor migas Indonesia memiliki potensi penyimpanan emisi karbon yang besar. Saat ini pemerintah tengah menyusun peraturan presiden tentang penerapan carbon capture storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon.
“Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan yang sangat besar, sekitar 8 giga ton CO2 di reservoir migas, dan lebih dari 400 gigaton di saline aquifer,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM Mirza Mahendra, seperti dikutip dari laman Dirjen Migas, Selasa (14/11).
Sebagai informasi saline aquifer didefinisikan sebagai batuan reservoir berpori dan permeabel yang mengandung cairan garam di ruang pori-pori di antaranya. butiran batu tersebut. Mereka umumnya terjadi pada kedalaman lebih dari. akuifer yang mengandung air minum.
Menurut Mirza, potensi penyimpanan ini akan memperkuat peran CCS di Indonesia untuk mendukung penurunan emisi, tidak hanya untuk sektor migas dan industri dalam negeri, tetapi juga dapat mendukung dekarbonisasi kawasan melalui perdagangan CO2 lintas batas.
Terkait perpres yang tengah disiapkan, Mirza mengatakan tujuannya adalah untuk membuka skema pengembangan CCS sebagai layanan penyimpanan yang memiliki potensi pendapatan dari biaya penyimpanan.
“Dan tentunya emiter dalam negeri juga akan membuka potensi perdagangan karbon dari pengurangan emisi yang dihasilkan dari kegiatan CCS,” kata Mirza menambahkan.
Kementerian ESDM bekerja sama dengan Badan Usaha Hulu Migas memiliki 15 proyek CCS/CCUS yang sedang diteliti dan dipersiapkan. Tangguh CCUS di Papua Barat ditargetkan akan onstream pada 2026 atau 2027, namun sebagian besar proyek ditargetkan akan onstream sekitar 2030.
“Tidak hanya pengembangan teknologi, dukungan kebijakan ekonomi dan infrastruktur juga diperlukan untuk mengurangi dan mencapai emisi,” kata Mirza.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Ekonomi Karbon Dalam Rangka Pencapaian Target NDC dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional, dan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Pada September lalu, Bursa Efek Indonesia mendirikan Bursa Karbon atau Carbon Exchange untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon. Peraturan-peraturan ini penting, dalam mendorong perdagangan karbon di Indonesia.
“Potensi nilai ekonomi dari penurunan emisi merupakan faktor kunci, yang mendorong seluruh pemangku kepentingan termasuk sektor energi dalam penurunan emisi mencapai net zero emision,” kata Mirza.