Skema Baru Kontrak Gross Split Proyek Migas Dinilai Tak Menarik Minat Investor

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.
Ilustrasi proyek hulu migas.
Penulis: Mela Syaharani
Editor: Sorta Tobing
21/8/2024, 17.33 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan detail baru kontrak gross split untuk industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Detail ketentuannya tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024.

Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, meski pemerintah mengubah beberapa ketentuan gross split, namun ia tidak yakin hal ini akan menarik minat investor.

“Karena variabel untuk menarik minat investor di hulu migas bukan hanya masalah skema kontraknya, tapi terkait kepastian cadangan migas yang masih tersedia,” kata Fahmy saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (21/8).

Perubahan skema kontrak tidak akan efektif membuat para pemain migas dunia, seperti Chevron, mau kembali berinvestasi di Indonesia. "Seharusnya pemerintah meyakinkan investor bahwa secara geologi cadangan migas Indonesia masih bisa dieksplorasi," ujarnya. 

Indonesia memiliki dua pilihan skema kontrak yang dapat digunakan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yakni cost recovery dan gross split

Faktanya, Fahmi menyebut, para KKKS lebih banyak memilih skema yang pertama walaupun skema bagi hasilnya 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor. "Mereka memilih cost recovery karena semua biaya dan risiko ditanggung negara," kata Fahmy.

Berbeda dengan gross split yang memberikan persentase bagi hasil lebih besar untuk KKKS. Namun, di sisi lain, para pelaku usaha harus menanggung biaya dan risikonya.

Dalam aturan terbarunya, skema gross split tak lagi memakai persentase bagi penetapan bagi hasil awal atau base split. Kementerian ESDM dapat memberikan tambahan split hinggga 95% bagi KKKS dalam aturan teranyarnya. 

Aturan Baru Gross Split

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Dadan Kusdiana menyebut split 95% sebelum pajak tersebut dapat diberikan langsung secara khusus untuk proyek migas non-konvensional atau MNK.

"Jadi, misalnya untuk MNK gas, base split kontraktor itu sebesar 49% dan tambahan split 46% sehingga totalnya 95%,” kata Dadan saat dihubungi Katadata.co.id pada 9 Agiustus lalu.

Dalam aturan baru ini, Dadan menyebut untuk proyek migas konvensional juga berpotensi mendapatkan besaran split antara 75% sampai 95%. Namun, angka itu akan tergantung dari lokasi lapangan, jumlah cadangannya, dan ketersediaan infrastrukturnya.

Selain penghapusan persentase base split, pemerintah juga turut menyederhanakan komponen variabel yang digunakan dan mengubah satu komponen progresif. Dalam aturan 2017, komponen variabel terdiri atas 10 poin. Dalam aturan baru disederhanakan menjadi tiga poin saja, yakni jumlah cadangan, lokasi lapangan, dan ketersediaan infrastruktur. 

Untuk komponen progresif, dalam pasal 6 ayat 7 Peraturan Menteri ESDM terbaru tersebut tetap mempertahankan jumlahnya yakni sebanyak dua buah. Namun, komponen progresif yang sebelumnya berbunyi "jumlah kumulatif produksi minyak dan gas bumi" kini diubah menjadi "harga gas bumi". 

Dalam pasal 11, pemerintah juga menghapus besaran tambahan persentase bagi hasil. Dalam aturan lama, pemerintah dapat memberikan tambahan persentase bagi hasil paling banyak 5% kepada kontraktor yang tidak mencapai nilai keekonomian proyek. 

“Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau lapangan-lapangan tidak mencapai nilai keekonomian proyek, Menteri ESDM dapat memberikan tambahan persentase bagi hasil kepada kontraktor,” dikutip dari Permen ESDM Nomor 13 Tahun 2024. 

Penghapusan tambahan besaran persentase 5% juga ditujukan untuk proyek yang melebihi keekonomian tertentu. “Dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau lapangan-lapangan melebihi kewajaran nilai keekonomian proyek, menteri dapat memberikan tambahan persentase bagi hasil untuk negara,” demikian dikutip.

Reporter: Mela Syaharani