Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meminta tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dari kenaikan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok sebelumnya dikhawatirkan sejumlah kalangan bakal membebani industri rokok konvensional, yang memiliki jumlah tenaga kerja besar.
"Kami minta jangan ada PHK walaupun cukainya naik. Karena industri rokok itu didominasi oleh pekerja perempuan," kata dia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/9).
Selain didominasi perempuan, dia pun menyatakan sebagian besar pekerja tersebut sudah memasuki usia senja serta umumnya pekerja memiliki tingkat pendidikan rendah.
"Makanya kami dorong agar mereka bisa mempertahankan pekerjaannya," ujar dia.
Hanif menyebut, beberapa kalangan industri rokok telah melakukan audiensi kepada Kemenaker. Audiensi itu di antaranya membahas mengenai dampak kenaikan cukai rokok serta aspirasi mereka kepada Kemenaker.
(Baca: Gejolak Harga Saham Produsen Rokok Diprediksi Berlanjut Hingga Oktober)
Sementara sebelumnya, pemerintah menilai kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 23% dengan kenaikan harga eceran 35% tak akan memberatkan industri padat karya hingga berakibat pada PHK. Alasannya, industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) diperkirakan bakal mendapat tarif cukai paling ringan dibandingkan dengan jenis rokok lainnya.
"Saya belum bisa sampaikan detailnya. Tapi yang pasti dengan rata-rata 23% itu, sigaret kretek tangan pada prinsipnya akan diberikan tarif yang teringan," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi.
Industri SKT memiliki jumlah tenaga kerja paling besar yang bisa mencapai ribuan orang, dibandingkan industri rokok lainnya. Beberapa industri di antaranya juga ada yang merupakan industri rumahan.
(Baca: Cukai Naik, Produksi Rokok Tahun Depan Diperkirakan Turun 15%)
Meski demikian, dia pun mengakui pemerintah ingin menurunkan konsumsi masyarakat terhadap rokok. "Kami harus pastikan, bahwa produksi itu secara gradual turun, karena ini mengenai konsumsi. Tapi, industri harus tetap perhatikan. Nah, industri mana yang harus diperhatikan, jika harus memilih, tentunya yang padat karya yang lebih utama," katanya.
Sedangkan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) memperkirakan produksi rokok bakal turun hingga 15% pada tahun depan seiring rencana pemerintah menaikkan rata-rata cukai rokok.
"Dengan adanya keputusan pemerintah yang sangat eksesif, tentu akan menyebabkan dampak negatif untuk industri," kata Ketua Gappri Henry Najoan di Jakarta, Rabu (18/9).
Ia menyebut kenaikan tarif cukai akan mengganggu ekosistem industri rokok. Penjualan rokok akan turun dan berakibat pada produksi serta penurunan penyerapan tembakau dan cengkeh hingga 30%.
Selain itu, menurut dia, bakal terjadi pemangkasan karyawan pabrik, serta peningkatan rokok ilegal. Padahal, menurut dia, industri rokok sangat strategis jika melihat kontribusi terhadap pendapatan negara yang mencapai 10% terhadap APBN atau sekitar Rp 200 triliun.
Pendapatan tersebut diperoleh melalui instrumen cukai, pajak rokok daerah, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Industri hasil tembakau juga menyerap 7,1 pekerja yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait. Padahal, saat ini industri hasil tembakau tengah mengalami tren negatif.