Dorong Daya Saing, Pengusaha Tekstil Minta Revisi UU Ketenagakerjaan

ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI
Ilustrasi tenaga kerja industri tekstil. Asosiasi Pertekstilan Indonesia menginginkan adanya perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan untuk meningkatkan daya saing industri tekstil nasional.
Penulis: Rizky Alika
20/9/2019, 07.19 WIB

(Baca: Pacu Ekspor Tekstil, Pengusaha Minta Jokowi Pangkas Izin )

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 102 MEN VI 2004 menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah lembur karyawan sebesar 1,5 kali upah sejam pada satu jam pertama. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, upah harus dibayar dua kali upah dalam sejam.

Sementara pada hari libur resmi, upah kerja untuk delapan jam pertama dibayar 2 kali upah sejam. Kemudian, jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam dan jam kesepuluh maupun kesebelas 4 kali upah sejam. Perbedaan tersebut dinilai menjadi kendala dalam meningkatkan daya saing dan investasi.

Selain menyoroti soal tenaga kerja, API juga mempermasalahkan biaya energi. Sejumlah negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan Tiongkok memiliki harga listrik yang lebih murah dari Indonesia.

Hal tersebut dapat mendorong daya saing masing-masing negara. Misalnya, Vietnam dan Bangladesh memiliki tarif listrik sebesar US$ 6 sen per kWh. Sementara, Indonesia dipatok tarif listrik US$ 11 sen per kWh.

(Baca: Pengusaha Harap Tambahan Tarif Bea Masuk Tekstil Berlaku Awal November)

Tiongkok dikenakan tarif yang serupa dengan Indonesia. Namun, pemerintah Tiongkok memberikan potongan tarif bagi industri sebesar 50% pada pukul 22.00-06.00.

"Jadi energi ini di Indonesia menjadi barang mewah, sangat mahal. Padahal batu bara dan gasnya dari Indonesia," kata Ade. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberikan diskon energi ataupun dana subsidi melalui pendapatan negara.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika