Dorong Daya Saing, Pengusaha Tekstil Minta Revisi UU Ketenagakerjaan

ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI
Ilustrasi tenaga kerja industri tekstil. Asosiasi Pertekstilan Indonesia menginginkan adanya perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan untuk meningkatkan daya saing industri tekstil nasional.
Penulis: Rizky Alika
20/9/2019, 07.19 WIB

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta adanya revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Perubahan aturan tersebut diharapkan dapat mendorong daya saing industri tekstil di dalam dan luar negeri.

"Ini untuk dorong pasar ekspor dan menguatkan pasar domestik dalam menghadapi impor," kata dia Ketua Umum API Ade Sudrajat di kantornya, Jakarta, Kamis (19/9).

Menurutnya, revisi perlu dilakukan pada beberapa pasal yang memberatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT), seperti ketentuan jam kerja, pesangon, biaya lembur, dan usia minimum pekerja.

Dalam Pasal 77 dijelaskan bahwa pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja, yaitu selama empat puluh jam dalam satu minggu. Sementara, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Luar Negeri API Anne Patricia mengatakan, jam kerja di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara acuan seperti Srilanka dan India.

(Baca: Pengusaha Tekstil Dorong Pembuatan Undang-Undang Sandang)

"Kalau bisa 48 jam, kalau tidak 45 jam," ujar Anne. Penambahan jam kerja bertujuan untuk menambah daya saing tenaga kerja Indonesia dengan negara lainnya.

Dari sisi usia, Anne berharap ada perubahan ketentuan minimum usia pekerja dari 18 tahun menjadi 17 tahun. Sebab, usia 17 tahun dianggap sudah dewasa sehingga layak untuk mengendarai kendaraan bermotor maupun bekerja.

Berdasarkan Pasal 68 dijelaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Adapun, anak yang dimaksud dalam aturan tersebut ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun.

Dari sisi pengupahan lembur, Anne meminta adanya sistem pembayaran dengan besaran yang sama atau flat rate. Saat ini, pengusaha diharuskan untuk membayar upah lembur dengan tarif yang berbeda. Misalnya, perbedaan tarif pengupahan lembur yang dilakukan pada hari kerja dan hari libur.

(Baca: Pacu Ekspor Tekstil, Pengusaha Minta Jokowi Pangkas Izin )

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 102 MEN VI 2004 menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah lembur karyawan sebesar 1,5 kali upah sejam pada satu jam pertama. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, upah harus dibayar dua kali upah dalam sejam.

Sementara pada hari libur resmi, upah kerja untuk delapan jam pertama dibayar 2 kali upah sejam. Kemudian, jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam dan jam kesepuluh maupun kesebelas 4 kali upah sejam. Perbedaan tersebut dinilai menjadi kendala dalam meningkatkan daya saing dan investasi.

Selain menyoroti soal tenaga kerja, API juga mempermasalahkan biaya energi. Sejumlah negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan Tiongkok memiliki harga listrik yang lebih murah dari Indonesia.

Hal tersebut dapat mendorong daya saing masing-masing negara. Misalnya, Vietnam dan Bangladesh memiliki tarif listrik sebesar US$ 6 sen per kWh. Sementara, Indonesia dipatok tarif listrik US$ 11 sen per kWh.

(Baca: Pengusaha Harap Tambahan Tarif Bea Masuk Tekstil Berlaku Awal November)

Tiongkok dikenakan tarif yang serupa dengan Indonesia. Namun, pemerintah Tiongkok memberikan potongan tarif bagi industri sebesar 50% pada pukul 22.00-06.00.

"Jadi energi ini di Indonesia menjadi barang mewah, sangat mahal. Padahal batu bara dan gasnya dari Indonesia," kata Ade. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberikan diskon energi ataupun dana subsidi melalui pendapatan negara.

Reporter: Rizky Alika