Kementerian Perindustrian menyebutkan realisasi impor garam hingga semester I mencapai 1,2 juta ton. Direktur Industri Kimia Hulu Fridy Juwono mengatakan total impor garam untuk tahun ini sebesar 2,7 juta ton.
“Jadi (impor garam yang masuk) baru sekitar 40 persen,” kata dia di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Jumat (12/7).
Impor tersebut diberikan untuk 55 perusahaan, yang terdiri dari 10 perusahaan pengolahan garam, dua perusahaan chlor alkali plant (CAP), 9 perusahaan kertas, serta beberapa perusahaan kosmetik, farmasi, dan pengeboran minyak.
(Baca: Menteri Susi Tuding Garam Impor Bocor, Ini Bantahan Kemenko Maritim)
Kebutuhan impor terbesar ialah untuk perusahaan CAP sebesar 1,7 juta ton atau 62 persen dari total impor. Kemudian, industri makanan dan minuman (mamin) membutuhkan garam impor sejumlah 567 ribu ton atau 20,9 persen dari total impor. Lalu, sebanyak 480 ribu atau 17 persen garam impor digunakan untuk perusahaan pemutih kertas.
Adapun garam impor yang diberikan untuk industri mamin sepanjang semester I tahun ini sebanyak 380 ribu ton. “Industri mamin tidak bisa pakai garam lokal karena standarnya beda,” ujarnya.
(Baca: Menteri Susi Tuding Harga Garam Anjlok karena Banyak Impor )
Pemerintah menyatakan impor garam dilakukan lantaran sejumlah industri tidak bisa menggunakan pasokan garam lokal. Alasannya, kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang diperlukan industri. Industri membutuhkan garam dengan kadar natrium klorida (NaCl) 95-98 persen. Sementara, kadar NaCl garam dari petambak di bawah 94 persen.
Meski begitu, industri berkomitmen tetap menyerap garam rakyat. Ada kesepakatan bagi perusahaan pengolah garam dan Kementerian Perindustrian untuk membelinya. Bila penyerapan tidak dilakukan, kuota impor garam tidak akan diberikan kepada perusahaan atau industri.
Sejak tahun lalu, sebanyak 15 perusahaan sudah menjalin kerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk memanfaatkan garam lokal. Hingga saat ini, realisasi penyerapannya mencapai 962,2 ribu ton.