Dorong Sektor Hilir, Petani Sawit Minta Pungutan Ekspor Berlaku Lagi

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Ilustrasi. Apkasindo menilai pungutan ekspor dapat mendorong ekspansi pengusaha sawit ke sektor hilir.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
9/7/2019, 22.34 WIB

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berharap pemerintah kembali berlakukan pungutan ekspor sawit. Ketua Umum Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung menilai pungutan ekspor dapat mendorong ekspansi pengusaha sawit ke sektor hilir.

"Ini supaya pengusaha kelapa sawit tidak hanya main di sektor CPO (crude palm oil), tapi main di produk turunan hilir karena kalau di hilir potongan (ekspor) rendah," kata dia di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (9/7).

Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 23/2019 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit disebutan bahwa pemerintah bakal membebaskan pungutan atau mengenakan tarif nol persen untuk semua produk sawit, baik Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya apabila harga CPO di bawah US$ 570 per ton.

(Baca: Terbitkan Aturan Baru, Sri Mulyani Rombak Skema Pungutan Ekspor Sawit)

Sementara, CPO dan turunannya memiliki harga di rentang US$ 570 per ton-US$ 619 per ton, akan dikenakan tarif bervariasi hingga US$ 25 per ton. Adapun jika harga CPO sudah berada di atas US$ 619 per ton dikenakan tarif bervariasi antara US$ 1- US$ 50 per ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan 48/2019, harga referensi CPO per Juli dipatok sebesar US$ 542,45 per. Artinya, sawit dan CPO tidak dikenakan pungutan ekspor.

(Baca: Gapki Berharap India Segera Turunkan Bea Masuk Minyak Kelapa Sawit )

Meski lebih murah pungutan pada sektor hilir, banyak pelaku usaha lebih memilih ekspor produk mentah CPO lantaran lebih mudah, praktis, dan cepat. Namun, Gulat mengakui pandangannya berbeda dengan asosiasi petani lainnya yang justru menentang adanya pungutan ekspor sawit karena dianggap membebani.

Padahal, dengan mengembangkan sektor hilir, menurutnya penyerapan Tandan Buah Sawit (TBS) akan lebih stabil. Selain itu, penyerapan TBS tidak akan terpengaruh oleh kampanye negatif di Eropa.

Beban Berat Petani Mandiri 

Gulat juga mengeluhkan, beban petani mandiri menjadi lebih berat lantaran dikenakan harga jual buah yang berbeda dibandingkan petani plasma atau petani yang bermitra dengan perusahaan. Perbedaan harga jual tesebut dinilai bisa mencapai 30% karena petani mandiri tidak bermitra dengan perusahaan.

"Misalnya pemerintah menetapkan harga sawit hari ini Rp 1.400/kilo. Harga jual itu turun 30% turun untuk petani non mitra seperti kami," ujarnya.

Tidak semua petani bisa bermitra lantaran perusahaan menyeleksi petani sebelum bekerja sama. Oleh karena itu, Gulat berharap ada Peraturan Gubernur yang tidak mengelompokkan petani plasma dan non plasma.

(Baca: Harga FOB Turun, Ekspor Minyak Sawit Merosot Hingga Akhir Tahun)

Selain itu, ia berharap pabrik yang membeli buah dengan harga berbeda dapat dikenakan tindakan pidana. "Itu sudah penipuan. Pemerintah bilang harga Rp 1.420, tapi dibeli Rp 700," kata dia. 

Reporter: Rizky Alika