Gabungan Pengusaha Dukung Pemerintah Lawan Diskriminasi Sawit ke WTO

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
15/4/2019, 21.30 WIB

(Baca: Diskriminasi Sawit, Negara Produsen Sampaikan Keberatan ke Uni Eropa)

"Jika The Delegated Act sampai diterapkan atau tidak ada revisi, saya khawatir negara lain akan melihat dan akan makin menguatkan bahwa sawit seolah-olah tidak bagus. Belum lagi komplikasi masalah lain," ujar Joko.

Untuk mengatasi diskriminasi sawit menurutnya memang harus ditempuh dengan cara yang hati-hati, perlu adanya analisa mendalam terkait dampak lainnya, seperti misalnya ancaman balik (retalisasi) dagang dari Uni Eropa ke Indonesia. Karena, bisa berdampak kepada investasi-investasi Indonesia yang ada di Eropa maupun sebaliknya.

Aturan arahan energi terbarukan II atau Renewable Energi Directive II (RED II) di Uni Eropa akan berlaku secara otomatis pada 12 Mei 2019. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, implementasinya dapat berlaku melalui prosedur senyap. "Artinya tidak ada pembahasan lagi, tapi langsung berlaku (aturannya)," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat (12/4).

Dengan berlakunya RED II, pada 2020-2023 konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa akan dibatasi. Jumlahnya tidak boleh lebih besar dari konsumsi tahun ini. Kemudian, pada 2023 angkanya akan terus turun secara bertahap hingga nol persen di 2030.

Untuk menghindari anjloknya ekspor sawit, pemerintah akan memperluas perjanjian perdagangan bebas (FTA). India, Pakistan, dan Turki menurut Darmin bisa menjadi pasar baru ekspor sawit. Ia mengungkapkan, pemerintah akan mendahulukan negara-negara yang banyak menggunakan palm oil. Negara-negara Afrika juga masuk dalam pertimbangan karena pertumbuhan ekonominya yang bergerak naik.

(Baca: Jokowi dan Mahathir Teken Surat Keberatan Diskriminasi Sawit)

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin