Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan perkembangan neraca dagang atau ekspor impor periode Maret 2019. Beberapa ekonom memperkirakan neraca dagang berpotensi defisit sekitar US$ 200 juta, di antaranya dipicu oleh peningkatan impor migas.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan neraca dagang kembali defisit US$ 260 juta. Ia mengatakan, impor migas berpotensi meningkat seiring harga minyak yang cenderung naik. Penyebabnya, berkurangnya produksi minyak di dua negara produsen yang tengah mengalami gejolak yaitu Libya dan Venezuela.
Pengetatan produksi di kedua negara telah menyebabkan harga minyak mentah menguat 1% sepajang pekan lalu. Mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing ditutup di level US$ 71,55 dan US$ 63,89 per barel pada perdagangan Jumat (12/4).
(Baca: BI: Neraca Dagang Maret Akan Kembali Surplus)
Selain itu, David menyebut defisit neraca dagang disebabkan oleh kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan. "Turunnya permintaan dan harga komoditas seperti minyak sawit mentah (CPO), batu bara dan karet juga berkontribusi terhadap penurunan ekspor," ujarnya kepada katadata.co.id, Senin (15/4).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengungkapkan hal senada. Ia memperkirakan neraca dagang Maret kembali defisit US$ 100 juta- US$ 200 juta seiring naiknya harga minyak mentah dunia.
Defisit juga disebabkan normalisasi produksi oleh industri manufaktur yang menyebabkan impor bahan baku lebih besar. Di sisi lain, ekspor belum ada perbaikan yang signifikan karena permintaan sawit dan karet global masih lemah.
Ia pun memeringatkan risiko peningkatan defisit dagang menjelang Ramadhan dan Lebaran. "Konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap pangan mau tidak mau mendorong impor pangan lebih tinggi," kata dia kepada katadata.co.id.
(Baca: Perbaiki Neraca Dagang, Sri Mulyani Perluas Insentif PPN Ekspor Jasa)
Sebelumnya, neraca dagang pada Februari 2019 membaik dengan surplus US$ 330 juta seiring kinerja impor yang menurun tajam. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka tersebut berbanding terbalik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang defisit US$ 52,9 juta serta Januari 2019 yang defisit US$ 1,16 juta.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan kinerja neraca dagang kembali surplus setelah empat bulan berturut-turut mencatat defisit. "Surplus terjadi karena impor turun tajam, meski ekspor juga menurun," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (15/3).
(Baca: Perbaiki Neraca Dagang, Kemendag Petakan Potensi Ekspor Jasa)
Dilihat per sektor, BPS mencatat surplus perdagangan Februari lebih banyak disumbang oleh surplus non migas sebesar US$ 790 juta, berbalik dari bulan lalu yang defisit US$ 704,7 juta. Sementara sektor migas defisit sebesar US$ 464,1 juta. Dalam komponen migas ini, defisit terjadi karena minyak mentah dan hasil minyak defisit, sementara gas mengalami surplus.
Di samping itu, kinerja ekspor masih melambat pada Februari 2019 di tengah nilai impor yang menurun tajam menyebabkan perolehan suplus perdagangan menjadi kurang maksimal. Suhariyanto mengatakan pada bulan lalu, total ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, turun 10,03% dibanding Januari 2019. Sedangkan dibanding Februari 2018 menurun 11,33%.