Pemerintah tengah menggodok aturan perubahan terkait pengenaan tarif pajak penjualan barang mobil mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor beremisi karbon rendah. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tarif bervariasi sesuai emisi yang dihasilkan dan konsumsi bahan bakar.
Semakin kendaraan itu ramah lingkungan, tarif PPnBM yang dikenakan menjadi semakin rendah atau bahkan sampai 0%. "Tarif PPnBM mengalami penurunan untuk penggunaan non fuel ada insentif sebesar 0%," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (11/3).
(Baca: Ubah PPnBM Beremisi Rendah, Penjualan Sedan Bisa Naik 7,2%)
Usulan perubahan tarif berlaku dalam dua kelompok, yaitu kelompok kendaraan berkapasitas mesin di atas 3.000 centimeter cubic (cc) dan di bawah atau sama dengan 3.000 cc. Pada aturan yang berlaku saat ini, pengelompokkan kapasitas mesin terbagi dalam jenis diesel sebanyak tiga kelompok dan gasoline sebanyak empat kelompok.
Aturan yang baru nantinya juga tidak akan membedakan kendaraan berdasarkan jenis sedan dan non-sedan. Perhitungan pajak baru mengubah aturan sebelumnya yang berprinsip semakin besar kapasitas mesin, maka semakin tinggi tarif pajaknya.
Secara rinci, untuk kendaraan penumpang dengan kapasitas mesin di bawah atau sama dengan 3.000 cc, tarif PPnBM dikenakan pada rentang 15-40%. Sementara, kendaraan penumpang dengan kapasitas di atas 3.000 cc dikenakan tarif 30-70%.
Untuk kendaraan komersil double cabin, tarif PPnBM dikenakan pada rentang 5-15% bagi kapasitas di bawah atau sama dengan 3.000 cc. Sementara, bagi kendaraan dengan kapasitas di atas 3.000 cc dikenakan tarif PPnBM 20-30%. Di sisi lain, kendaraan komersil jenis truk, bus, dan pick up dikenakan tarif sebesar 0% untuk seluruh kapasitas mesin.
Selanjutnya, kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) di bawah 3.000 cc dikenakan tarif PPnBm sebesar 3%. Sementara kendaraan Hybrid di bawah atau sama dengan 3.000 cc dikenakan tarif pada kisaran 2%-12%. Ada pun kendaraan berkapasitas di atas 3.000 cc akan dikenakan PPnBM di rentang 20-30%.
Sementara bagi seluruh kendaraan jenis Flexy Engine dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) masing-masing dikenakan sebesar 8% dan 0%. Ada pun, untuk kendaraan mewah di atas 5.000 cc dikenakan tarif PPnBM dikenakan sebesar 150%. "Lamborgini tidak perlu diturunkan karena masalah persepsi dan keadilan," ujarnya.
(Baca: Bidik Pasar Australia, Menperin Siapkan Industri Mobil Listrik)
Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim usaha yang menjadi konsentrasi di kalangan industri otomotif. Di sisi lain, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan peranan industri otomotif dalam Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebab, menurutnya kontribusi PDB industri alat angkutan masih rendah. Pada 2018, kontribusi indutri alat angkut hanya sekitar 1,76% terhadap PDB atau Rp 260,9 triliun. Ini lebih rendah dibandingkan industri pengolahan sebesar 19,86% dari PDB dan industri pengolahan non migas 17,63%.
Padahal, kendaraan bermotor roda empat ikut berkontribusi terhadap surplus neraca dagang. Untuk mobil utuh (completely built up/CBU) dan komponennya, volume ekspornya lebih besar dari impor dan terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, volume ekspor kendaraan CBU pada 2016 sebesar 194 juta unit. Sementara pada 2017, ekspor meningkat menjadi 231 juta unit dan 2018 menjadi 265 juta unit.
Sementara untuk kendaraan terurai (completely knock down/CKD), volume impor masih lebih besar daripada ekspor. "Jadi ini ada potensi substitusi impor untuk pasar dalam negeri," ujarnya.