Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan defisit neraca perdagangan Indonesia terpengaruh cukup besar oleh pelemahan ekonomi Tiongkok. Terlebih lagi, Negeri Tirai Bambu itu saat ini merupakan pangsa pasar terbesar untuk ekspor komoditas RI.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2019, Indonesia kembali mengalami defisit sebesar US$ 1,16 miliar, salah satunya disebabkan oleh dengan menurunnya ekspor. Realisasi defisit Januari tercatat melebar dibanding defisit perdagangan periode Desember 2018 sebesar US$ 1,03 miliar.
"Penyebabnya cenderung karena ekspor kita nomor satu (terbesar) itu ke Tiongkok," katanya di Jakarta, Jumat (15/2).
(Baca: Ekonomi Global Melambat, Neraca Dagang Januari 2019 Defisit US$ 1,16 M)
Data BPS per Januari 2019 menunjukkan, Tiongkok masih menjadi pangsa ekspor terbesar Indonesia dengan total nilai ekspor US$ 1,71 miliar atau berkontribusi sebesar 13,52% terhadap total ekspor. Adapun Amerika Serikat menempati posisi kedua dengan nilai ekspor US$ 1,51 miliar atau berkontribusi 11,97% diikuti Jepang di urutan ketiga dengan nilai ekspor US$ 1,20 miliar atau 9,47% terhadap total ekspor.
Namun, dengan potensi pasar yang besar, ekspor Indonesia ke Tiongkok justru menurun. Tercatat, ekspor non migas ke Tiongkok pada Januari 2019 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya turun 11,05% menjadi US$1,71 miliar dari US$1,92 miliar. Demikian halnya dengan ekspor migas juga juga turun 4,36% menjadi US$ 184 juta.
Alhasil, pada Januari 2019 Indonesia membukukan defisit perdagangan dengan Tiongkok sebesar US$2,43 miliar pada Januari 2019. Defisit itu meningkat 32% dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$1,84 miliar.
Padahal menurut Darmin, Tiongkok sebelumnya memiliki permintaan cukup besar terutama pada produk berbasis komoditas, seperti produk hasil pertambangan dan perkebunan. Sehingga, dengan permintaan Tiongkok yang berkurang akibat pelemahan ekonomi dalam negerinya, otomatis akan berpengaruh pula terhadap ekspor komoditas Indonesia.
Selain itu, perkembangan ekonomi dunia juga sangat cepat dalam adaptasi perang dagang antara AS dan Tiongkok juga diakui Darmin menyulitkan posisi Indonesia dalam mengalihkan ekspornya ke pasar lain. "Kita masih butuh waktu untuk penyesuaian dan pengalihan ekspor ke negara lain," ujar Darmin.
Untuk mengantisipasi penurunan permintaan Tiongkok maupun meningkatkan ekspor ke negara lain, pemerintah sebelumnya telah merilis sejumlah kebijakan peningkatan ekspor jangka pendek. Contohnya adalah simplifikasi ekspor Completely Build Up (CBU) untuk produk otomotif.
(Baca: Defisit Neraca Dagang Berlanjut, Kurs Rupiah Melemah Jadi 14.100/US$)
Kemudian, pemerintah juga tengah mendorong ekspor produk-produk hasil industri olahan, yang memiliki nilai tambah lebih besar dibanding sekedar mengekspor komoditas mentah.
Menurut Darmin, beberapa produk hasil industri yang berpotensi ditingkatkan itumisalnya, produk industri tekstil dan elektronik yang kemungkinan cukup manarik bagi negara lain. Sedangkan untuk produk berbasis sumber daya alam, pemerintah juga akan terus mendorong ekspor berbasis produk perikanan.