Pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengancam ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara asal Indonesia. Sebagai tujuan ekspor terbesar, pemerintah turut memberi perhatian khusus pada laju pertumbuhan ekonomi Negeri Panda yang turun jadi 6,6% sepanjang 2018.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan menyatakan ekspor Indonesia bergantung pada permintaan global, salah satunya Tiongkok sebagai pasar yang cukup besar. Sehingga, perkembangan ekonomi internasional sangat mempengaruhi kinerja perdagangan.
"Melemahnya perekonomian Tiongkok tentu akan berdampak pada permintaan barang yang berasal dari Indonesia, terutama komoditas berupa bahan baku seperti CPO dan batu bara," kata Kasan dalam pesan singkat kepada Katadata.co.id, Selasa (22/1).
(Baca: Tumbuh 6,6%, Ekonomi Tiongkok Sentuh Level Terendah dalam 28 Tahun)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor barang mineral dalam HS 27 pada 2018 naik sebesar 14,39 menjadi US$ 6,057 miliar pada 2018 dari tahun sebelumnya sebesar US$ 5,295 miliar. Sedangkan, ekspor bahan bakar nabati HS 15 tercatat sebesar US$ 3,258 miliar, turun 0,12% dari 3,254 miliar pada periode yang sama.
Dia menjelaskan, ekspor komoditas Indonesia berpotensi menurun sejalan dengan turunnya aktivitas produksi manufaktur di Tiongkok. Pada 2018, Tiongkok merupakan tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia dengan pangsa mencapai 15% dari total ekspor.
Untuk mengantisipasi melemahnya permintaan Tiongkok, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah, antara lain dengan penetrasi atau pengalihan ekspor kepada pasar nontradisional. "Kami akan lebih gencar memoerluas pasar ekspor untuk mengkompensasi kemungkinan perlambatan ekspor ke Tiongkok," ujarnya.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai perlambatan ekonomi terjadi karena perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Alasannya, kedua negara merupakan kekuatan ekonomi besar di dunia sekaligus mitra dagang utama.
Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Perdagangan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, selama normalisasi perang dagang belum terjadi, permintaan Tiongkok terhadap produk Indonesia akan tetap melambat. "Ini berarti persaingan Indonesia dengan negara penyuplai komoditas ke Tiongkok lain akan semakin ketat," kata Shinta.
Dengan begitu menurutnya ada tiga opsi yang dapat pemerintah lakukan. Pertama, peningkatan daya saing ekspor. Sebab, Indonesia dinilai perlu lebih efisien dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas industri dengan kemudahan untuk pelaku usaha.
Selain itu, pemerintah harus membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi kendala pelaku usaha untuk melakukan penjualan barang ke Tiongkok. Apindo menyebut masih banyak hambatan nontarif yang menghambat ekspor produk Indonesia.
(Baca: IMF: Prospek Ekonomi Melemah, Bukan Tanda Resesi Global)
Kedua, intensifikasi perdagangan dengan membuka pasar baru. Pengusaha meminta pemerintah untuk melakukan komunikasi intens kepada pelaku usaha untuk preferensi perdagangan dengan negara-negara potensial. "Keterlibatan pelaku usaha bisa membuat pilihan pasar lebih efektif dan akses informasi semakin luas," ujarnnya.
Terakhir, perbaikan iklim usaha untuk meningkatkan eksportir di Indonesia. Pemerintah dinilai perlu memperhatikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar lebih memahami aturan ekspor dan persyaratan pasar internasional. Kemudian, kebijakan supaya kemudahan ekspor seperti menghilangkan izin ekspor berbiaya tinggi serta sarana kredit ekspor dengan bunga yang terjangkau menurutnya bisa menjadi salah satu solusi.
Ekonomi Negeri Tirai Bambu mencatat pertumbuhan terendah dalam 28 tahun. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan prospek ekonomi global. Para ekonomi pun menyebut ada sederet dampak yang perlu diwaspadai Indonesia seiring perkembangan tersebut.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, setidaknya ada empat dampak yang perlu diwaspadai. Pertama, Tiongkok berpotensi mengurangi permintaan bahan baku dari Indonesia baik komoditas energi, tambang, perkebunan maupun perikanan, seiring pelemahan pertumbuhan ekonominya.
(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok Melemah, Sederet Dampak Perlu Diwaspadai)
“Efeknya, kinerja (pertumbuhan) ekspor tahun ini diperkirakan hanya ada di kisaran 6-7%,” kata Bhima. Hal ini lantaran Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang besar. Porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15% dari total ekspor pada 2018 lalu.
Selanjutnya, melemahnya permintaan Tiongkok akan membuat pemulihan harga komoditas berlangsung lebih lama, baik komoditas minyak mentah, batu bara, minyak sawit, maupun karet. Ini artinya, pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatera tertekan. “Pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas prospeknya turun,” kata dia.
Kemudian, dari sektor keuangan, ia memperkirakan investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang. Kecenderungan ini, menurut dia, terlihat dari pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah pada perdagangan Senin ini, setelah rilis data ekonomi Tiongkok tersebut.
Terakhir, ia memprediksi investor akan menunda masuk ke Indonesia lantaran melihat prospek pertumbuhan ekonomi global yang melambat. “FDI (Foreign Direct Investment/investasi asing langsung) pada 2019 sulit untuk diharapkan. Apalagi ada event Pilpres,” ujarnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam juga berpendapat perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok memiliki dua dimensi yaitu dimensi negatif dan positif. Dimensi negatifnya, sejalan dengan penjelasan Bhima, yaitu terpengaruhnya kinerja ekspor.
Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengindikasikan pertumbuhan ekonomi serta permintaan global di tahun ini akan tetap rendah. “Kondisi ini menegaskan bahwa akan sulit mengharapkan pertumbuhan ekspor indonesia yang cukup tinggi pada tahun ini,” ujarnya.
Ini pun melihat adanya hubungan antara perkembangan global ini dengan fokus pemerintah mengerem impor. Tahun ini, pemerintah membidik impor hanya tumbuh 7,1%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang diperkirakan sebesar 13,4%.
Kebijakan ini bukan hanya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, tapi juga menjaga pertumbuhan ekonomi. Sebab, impor ini merupakan faktor pengurang dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah saya yakin sepenuhnya menyadari hampir tidak mungkin menaikkan ekspor. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi impor,” ujarnya.