Lawan Kampanye Hitam, Mendag Promosikan Sawit RI di AS

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Menurut pedagang pengepul di daerah tersebut, harga sawit mengalami penurunan dari harga Rp1.400 menjadi Rp1.000 per kilogram akibat kualitas buah tidak terlalu bagus.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
21/1/2019, 08.30 WIB

Instruksi itu bermaksud untuk menerapkan langkah alternatif agar moratorium pembukaan lahan untuk perkebunan baru menjadi lebih efektif, sambil terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit.

Dia menuturkan, produksi CPO yang tinggi dapat melestarikan cadangan minyak global. "Indonesia berupaya meningkatkan produktivitas CPO sekaligus mengatasi tantangan sosial dan lingkungan sehingga produksi CPO Indonesia tidak akan merusak alam,” ujar Enggar.

CPO dan produk turunannya, menurut dia berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Sebab, perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar pada kehidupan masyarakat. “CPO dan turunanya berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan pengembangan daerah pedesaan serta mendukung pembangunan ekonomi nasional,” ujarnya.

(Baca: Kompetisi Pasar Sawit Indonesia Melawan Malaysia di India Makin Berat)

Menurutnya, industri sawit juga perbandingan yang sama dengan industri penerbangan milik Boeing milik AS atau Airbus punya Uni-Eropa.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor CPO tahun 2017 mencapai US$ 20,34 miliar. Namun, pada 2018 ekspor sawit turun hingga 12,02% dengan nilai hanya US$ 17,89 miliar.

Forum CPO terselenggara atas kerja sama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDB-KS) bersama Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dan Kedutaan Besar Republik Indonesia, serta didukung Kementerian Perdagangan. Diskusi antara pelaku usaha dihadiri lebih dari 75 orang peserta.

Halaman:
Reporter: Michael Reily