Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 22 provinsi yang mengalami defisit beras di Indonesia. Meski demikian secara total, neraca beras nasional berdasarkan metode Kerangka Sampel Area (KSA) tahun ini diperkirakan surplus 2,85 juta ton dengan produksi 32,42 juta ton dan konsumsi 29,57 juta ton.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Muhammad Habibullah menyatakan konsumsi stabil, namun untuk produksi mengalami penurunan pada semester kedua. "Jumlah populasi tetap, itu yang menyebabkan defisit," kata Habibullah.
BPS mencatat, setidaknya ada sekitar 5 provinsi yang mengalami defisit lebih dari 400 ribu ton. Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta dengan defisit 1,23 juta ton, Jawa Barat 770 ribu ton, Sumatera Utara 564 ribu ton, Riau 425 ribu ton, dan Banten 411 ribu ton.
(Baca: Kisruh Anomali Harga Beras Akibat Salah Kebijakan dan Hitungan)
Sementara itu, sebanyak 9 provinsi juga diketahui mengalami defisit di kisaran 100 ribu ton sampai 200 ribu ton. Kesembilannya adalah Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Bali, Papua, Maluku, Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, serta Kalimantan Barat.
Adapun 7 provinsi sisanya, tercatat mengalami defisit di bawah 100 ribu ton adalah Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Utara, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara. Namun, Gorontalo mengalami defisit kecil yang hanya 596 ton.
Selain itu, Habibullah juga menyoroti daerah sentra produsen beras Jawa Barat yang mengalami defisit produksi. Jawa Barat merupakan daerah yang kepadatannya tinggi dan menjadi tempat daerah tujuan masyarakat yang populasinya berasal dari provinsi lain.
Mayoritas daerah yang mengalami defisit beras biasanya merupakan daerah yang banyak dikunjungi wisatawan. Contohnya, Sumatera Utara dan Riau. "Kalau Jakarta sudah jelas konsumsinya tinggi," ujar Habibullah.
(Baca: BPS: Surplus Beras 2,85 Juta Ton Hanya Cukup Buat Konsumsi Sebulan)
Sebaliknya, BPS juga mencatat terdapat 12 provinsi yang mengalami surplus beras. Wilayah seperti Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah bahkan surplus lebih dari 1,5 juta ton dengan masing-masing rinciannya sebesar 2,31 juta ton, 1,75 juta ton, dan 1,72 juta ton.
Selain ketiga wilayah tadi, Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi Barat juga meruoakan wilayah yang mengalami surplus beras.
Pengamat Pertanian Husein Sawit mengungkapkan persebaran beras yang tak merata merupakan hal yang lumrah terjadi. Sebab, beras dari daerah yang surplus pasti akan bergerak mengisi kebutuhan wilayah defisit.
Namun, kebijakan pemerintah belakangan justru dinilai menghambat mekanisme pasar sehingga penurunan harga tidak berjalan lancar. "Pedagang takut menjaga stok yang bisa dialokasikan untuk mengisi kebutuhan daerah lain, terutama karena tekanan pasar dan harga," kata Husein.
(Baca: Defisit Neraca Beras, Sinyalemen Lonjakan Harga )
Dia menyebutkan kebijakan pemerintah terlalu represif sehingga alur mekanisme pasar terhambat. Keputusan pemerintah untuk melakukan operasi pasar dengan ketergantungan pada stok Bulog juga dinilai tak terlalu efektif.
Dia memproyeksikan, pengadaan Bulog tahun 2018 sebesar 3,4 juta ton dengan porsi pengadaan dalam negeri 1,6 juta ton dan impor sebanyak 1,8 juta ton. Penyerapan beras dalam negeri Bulog merupakan salah satu catatan paling rendah selama beberapa tahun terakhir.
Menurut Husein, target operasi pasar sebesar 15 ribu ton per hari diprediksi tak akan tercapai karena rata-rata realisasi harian hanya 3 ribu ton. "Pedagang takut membeli beras Bulog untuk dijual kembali, psikologis ini yang juga berpengaruh," ujarnya.