Kebijakan Pembatalan Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Antiklimaks

Donang Wahyu|KATADATA
Rokok
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
6/11/2018, 17.23 WIB

Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2019 dianggap antiklimaks dan mengabaikan perlindungan konsumen, baik terhadap para perokok maupun calon perokok.

Kenaikan cukai rokok dianggap bisa menjadi salah satu instrumen penahan  laju konsumsi rokok masyarakat. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dengan kenaikan cukai mampu membuat harga rokok mahal sehingga masyarakat enggan membelinya.

Berdasarkan data WHO pada 2018, kenaikan harga rokok sebesar 10% dapat menurunkan konsumsi tembakau hingga 4% di negara maju dan 5% di negara berkembang. "Dengan pembatalan itu, pemerintah tidak atau kurang melindungi konsumen," kata Tulus di Jakarta, Selasa (6/11).

(Baca: Pembatalan Kenaikan Cukai Rokok Melegakan Pelaku Industri)

Tulus pun menilai pembatalan kenaikan cukai rokok tidak sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjaga kesehatan publik. Padahal, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan jika prevalensi penyakit tidak menular, seperti stroke, gagal ginjal, dan jantung koroner naik tahun ini.

Tulus juga mengatakan, prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipicu oleh gaya hidup yang tak sehat, salah satunya perilaku merokok. Di Indonesia, 35% masyarakat dari total populasi penduduk merupakan perokok.

"Kalau tidak menaikkan cukai rokok, ini pemerintah mendorong prevalensi penyakit tidak menular semakin meningkat," kata Tulus.

Pembatalan kenaikan cukai rokok pun dianggap sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap anak muda. Project Coordinator for Young Health Programme di Yayasan Lentera Anak, Margianta Surahman mengatakan, pembatalan kenaikan cukai rokok membuat upaya penurunan prevalensi perokok muda dan anak menjadi terhambat.

(Baca: Cukai Rokok Batal Naik, YLKI: Pemerintah Abaikan Perlindungan Konsumen)

Berdasarkan Riskesda 2018, jumlah perokok anak di Indonesia naik dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% tahun ini. "Target RPJMN untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4% pada 2019 nanti bagai panggang jauh dari api," kata Margianta.

Direktur Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Anindita Sitepu mengatakan, pembatalan kenaikan cukai rokok juga dikhawatirkan dapat menghilangkan kesempatan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di Indonesia. Alasannya, kenaikan cukai dianggap dapat mengurangi beban ekonomi yang ditanggung pemerintah akibat penyakit terkait rokok.

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pun tidak akan efektif lantaran cukai rokok tidak meningkat tahun depan. "Perpres ini seolah menuang air ke gelas yang bocor. Ke depan maka kita akan memiliki beban ekonomi, beban kesehatan karena meningkatnya penyakit tidak menular akibat rokok," kata Anindita.

(Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik, Bea Cukai Putar Otak Kejar Target Penerimaan)

Pernyataan senada juga diungkap Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri. Dia menilai pembatalan cukai rokok dapat menganggu peningkatan kualitas modal manusia. Padahal, saat ini kualitas modal manusia terbilang masih rendah dibandingkan beberapa negara tetangga lainnya.

Berdasarkan data Human Capital Index dari Bank Dunia pada 2018, Indonesia menempati peringkat 87 dari 126 negara dengan skor Human Capital Index sebesar 0,53.

Angka ini lebih rendah dibandingkan Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Menurut Faisal, rendahnya kualitas modal manusia di Indonesia dikarenakan rokok masih mendominasi pengeluaran orang miskin.

Menurutnya,  pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok merupakan kedua terbesar setelah beras. Pengeluaran untuk beras terhitung sebanyak 27%, sementara rokok mencapai 10%.

Pengeluaran untuk rokok juga tercatat enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan untuk tempe. Angka tersebut pun lebih besar lima kali lipat dibandingkan belanja daging ayam dan tiga kali lipat dari belanja telur.

"Karena itu teman-teman di sini peduli bagaimana racun lebih sedikit masuk ke tubuh orang miskin itu. Katanya komitmen menurunkan kemiskinan, meningkatkan sumber daya manusia, kok ini enggak sejalan," kata Faisal.

Faisal pun menilai pemerintah tak perlu lagi berdalih pembatalan  kenaikan cukai rokok didasari  pertimbangkan kontribusi industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, kontribusi industri rokok terhadap PDB hanya sebesar 0,9%, jauh lebih rendah dibandingkan sawit atau makanan dan minuman. Karenanya, pemerintah diminta untuk mencabut kebijakan pembatalan kenaikan cukai rokok.

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo mengatakan, pemerintah harus tetap konsisten untuk menaikkan cukai rokok hingga 57%.

Ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017. "Ini catatan untuk kami yang akan terus kami sampaikan kepada masyarakat bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang salah," kata Prijo.