Menteri Pertanian Menolak Impor
Senada dengan sikap Bulog, Menteri Pertanian Amran Sulaiman jadi salah satu pihak yang menolak impor.
Dalam berbagai kesempatan, Amran terus mengatakan produksi padi nasional mencukupi kebutuhan beras masyarakat. “Urusan kami tentang produksi,” ujarnya.
Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras sebesar 49,4 juta ton sepanjang tahun ini dengan proyeksi kebutuhan masyarakat 30,3 juta ton. Alhasil, menurutnya ada surplus beras mencapai 19,1 juta ton. Target tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan Amran menyebut bahwa komoditas beras dalam negeri sudah mencapai target swasembada.
Pada triwulan III 2018, Kementerian Pertanian menyatakan panen beras secara nasional mencapai 14,39 juta ton. Sedangkan, konsumsi tiga bulan hanya sebesar 7,5 juta ton.
Kementerian Pertanian juga mengklaim kekeringan sawah pada periode Januari hingga Agustus 2018 hanya sebesar 1,34% atau 135.226 hektare dari total luas tanam 10,07 hektare. Adapun, data gagal panen (puso) sawah pun hanya mencapai 0,26% atau 26.438 hektare dari total luas tanam.
(Baca : Mendag Ungkap Alasan Pemberian Izin Impor 1 Juta Ton Beras)
Dengan beragam kondisi tersebut, Amran menyatakan produksi padi semester kedua 2018 bisa lebih optimal. Alasannya, produktivitas padi sepanjang Januari hingga Agustus 2018 sebesar 51,92 kuintal per hektar dengan potensi kehilangan hasil gabah yang hanya 0,63% atau sebesar 314.932 ton. “Dampaknya masih kecil,” katanya.
Sedangkan untuk tahun depan, Kementerian Pertanian juga optimistis produksi beras akan tetap tinggi dengan berupaya menggenjot produksi padi hingga 84 juta ton. Optimisme ini yang kembali menegaskan sikap penolakan Kementerian Pertanian terhadap impor beras.
Pengawasan Impor Diperketat
Di luar masalah pro-kontra impor beras, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkap hal lain yang menurutnya penting dalam masalah impor beras adalah mengenai pengawasan impor beras yang harus diperketat. Sebab, jumlah perizinan impor yang mencapai 2 juta ton berpotensi menjadi lahan proyek pemburu rente.
Terlebih secara nilai, total impor beras sebanyak 2 juta ton memiliki angka cukup besar yakni sekitar Rp 5,8 triliun. Perhitungan itu mengacu data Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyebutkan harga rata-rata beras internasional mencapai US$ 430 per ton dengan kurs mata uang rupiah Rp 13.500 pada awal tahun.
Perhitungan itu juga membuat harga beli beras impor hanya sekitar Rp 5.800 per kilogram. Padahal, HET beras paling rendah sebesar Rp 9.450 per kilogram. “Pengawasan impor harus lebih ketat karena menyangkut kebutuhan masyarakat,” ujar Faisal.
Guru Besar Fakultas Pertanian Dwi Andreas Santosa juga mengungkapkan pengawasan lain yang harus dilakukan pemerintah adalah pada saat penggelontoran operasi pasar beras impor yang seharusnya dimulai pada Oktober. Hal itudidasarkan pada kondisi sawah pada kuartal ketiga setiap tahunnya yang biasanya masih memasuki masa panen gadu.
Pemerintah sebelumnya menugaskan Bulog untuk operasi pasar sebanyak 15 ribu ton per hari pada awal September untuk mengantisipasi lonjakan harga seiring bergulirnya kondisi kekeringan di beberapa daerah. Meski pada realisasinya serapan beras pada operasi pasar baru mencapai 9 ribu ton dalam jangka waktu 20 hari.
Dwi memperkirakan, pengurangan stok beras akan mulai terasa pada Oktober karena masa panen yang sudah lewat. Sehingga, dia menyeut keputusan impor beras sebanyak 2 juta ton sudah tepat.
Sebab, jika melihat penyerapan beras dalam negeri per Agustus 2018, Bulog dinilai tidak akan bisa memenuhi kewajiban untuk Rastra dan operasi pasar. “Bayangkan jika stok beras Bulog di bawah 1 juta ton, harga akan melonjak,” kata Dwi.
Dia memperkirakan operasi pasar Bulog bisa efektif jika dilakukan mulai Oktober 2018 hingga Maret 2019. Sebab, menurut kajiannya, pada saat itu produksi padi tak sebanyak klaim Kementerian Pertanian.