Margin Perusahaan Makanan Minuman Menyusut seiring Pelemahan Rupiah

Arief Kamaludin | Katadata
Pengunjung di pusat perbelanjaan Carrefour, Jakarta, Jumat, (19/12). Pertumbuhan retail modern terutama format minimarket, convenience store, dan hipermarket 2013, bertumbuh 10–11 persen dengan total penjualan mencapai 150 triliun rupiah.
Penulis: Ekarina
5/9/2018, 08.34 WIB

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama beberapa waktu terakhir terus memberi tekanan terhadap perolehan margin perusahaan makanan minuman, terutama pada perusahaan yang memiliki ketergantungan besar terhadap bahan baku impor. Margin perusahaan tertekan akibat biaya produksi yang terus meningkat tanpa mampu diimbangi dengan kenaikan harga jual.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) menuturkan margin rata-rata perusahaan makanan minuman telah menyusut antara 3%-5%. Biaya produksi rata-rata perusahaan makanan minuman terus mengalami lonjakan. Menurutnya, saat ini banyak bahan baku industri makanan minuman yang mayoritas masih didapat melalui impor, seperti bahan baku industri terigu sebesar 100%, gula 80%, garam 70%, susu 80%, kedelai 70% dan jus buah 70%.

Namun, untuk menyiasati pelemahan nilai tukar rupiah terhadap kenaikan biaya produksi banyak perusahaan makanan minuman belum berani menaikan harga jual karena masih dibayangi kekhawatiran pelemahan daya beli.

(Baca : Harga Daging Ayam Melonjak, KFC Kerek Harga Jual)

"Penjualan produsen makanan minuman sebetulnya naik, namun belum seperti target yang diharapkan," ujar Adhi kepada Katadata, Selasa (4/9).

Karenanya, beberapa produsen mulai menyiasai kenaikan biaya produksi dengan melakukan efisiensi seperti dengan menggunakan bahan baku alternatif, menyiasati dari segi ukuran maupun kemasan.

Adhi pun berharap pemerintah segera mengatasi masalah nilai tukar rupiah yang lambat laun diakuinya cukup memberatkan kinerja industri, seperti dengan membenahi kebijakan yang bisa berdampak terhadap penurunan ongkos logistik, mendorong ketersediaan bahan baku dalam negeri atau pembenahan hulu dan hilir untuk industri mamin jika ingin menjadikannya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, untuk kebijakan jangka pendek pihakanya juga mengusulkan adanyapemberian insentif seperti pemberian subsidi bunga ekspor serta melalukan percepatan perundingan kerja sama dagang agar pelaku industri bisa segera melakukan penetrasi produknya ke negara tujuan ekspor yang belum pernah dijangkau.

"Saat ini pengusaha masih sulit mengakses pasar misalnya ke Afrika yang memiliki hambatan tarif yang tinggi sebesar 30% lebih,"katanya.

(Baca juga : Jokowi Siapkan Langkah Jangka Pendek Hadapi Tekanan Rupiah)

Karenanya, dengan segala upaya tersebut pihaknya masih optimistis industri makanan minuman bisa mencapai target pertumbuhan sebesar 9% tahun ini atau sedikit di atas target pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, lonjakan biaya bahan baku telah menyebabkan perushaaan waralaba restoran menaikan harga jual produknya. PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), perusahaan restoran pemegang lisensi Kentucky Fried Chicken (KFC) menaikan harga jual untuk mengompensasi kenaikan harga ayam.

Direktur Fast Food Indonesia Justinus D.Juwono menuturkan sejak awal Mei 2018 terjadi kenaikan harga ayam cukup tajam, sehingga perusahaan mau tak mau ikut menaikan harga jual produknya sebesar 3%. Namun, menurutnya kenaikan harga jual tidak diberlakukan terhadap seluruh produk makanan minuman KFC, hanya untuk beberapa menu produk berbahan dasar ayam.

(Baca: Gejolak Kurs Rupiah Diprediksi Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun)

Dia pun menuturkan harga ayam masih berlangsung saat ini, meski demikian perseroan menegaskan kenaikan harga jual hanya akan dilakukan sekali sepanjang tahun ini.

"Kami melakukan adjustment harga, tapi kami pastikan hingga akhir tahun tidak ada lagi kenaikan harga jual," ujarnya di Jakarta, Kamis (29/8).