Larangan penggunaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan campuran biofuel pada 2030 oleh Uni Eropa (UE) berpotensi meningkatkan ekspor industri hilir CPO. Potensi tersebut terbuka jika terjadi peningkatan investasi industri hilir CPO di dalam negeri.
Proyeksi itu berdasarkan hasil kajian Direktorat Ketahanan Industri Ditjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian.
Kajian disusun oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Ina Primiana Syinar, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, Direktur Penelitian CORE Mohammad Faisal, dan peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus.
(Baca juga: Jokowi Terbitkan Revisi Perpres Mandatori B20)
Kajian menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) yang mensimulasikan penurunan ekspor CPO hingga 15%. Simulasi dilakukan terhadap dua skenario, yakni pelarangan ekspor minyak sawit ke UE serta ditambahkan peningkatan investasi di sektor industri CPO dan berbagai turunannya.
Hasil simulasi menunjukkan pelarangan dari UE memang akan membuat penurunan ekspor minyak sawit hingga 4,46% dan 3,45%. Meski demikian, ekspor produk-produk turunan CPO justru berpotensi naik.
Melalui simulasi penambahan peningkatan investasi, kenaikan ekspor produk roti biskuit, dan sejenisnya dapat mencapai 27,1%; farmasi sebesar 25,75%; cat dan tinta sebesar 21,38%. Kemudian peningkatan ekspor produk sabun dan bahan pembersih berpotensi mencapai 18,57%; bahan plastik dan serat sintetis mencapai 18,16%; dan kosmetik mencapai 17,17%.
(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)
Potensi yang sama juga terjadi untuk hasil industri turunan CPO. Melalui simulasi penambahan peningkatan investasi, kenaikan hasil industri sabun dan bahan pembersih mencapai 8,98%, kimia dasar mencapai 6,86%. Lalu, pestisida mencapai 6,79%, kosmetik mencapai 6,01%, dan bahan plastik dan serat sintetis mencapai 5,05%.
"Kalau simulasi pertama tidak ditambah investasi, tumbuhnya rendah. Tetapi kalau ditambah investasi, industri turunan tumbuh," kata Ina di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (21/8).
Ina menambahkan, potensi peningkatan nilai tambah untuk produk turunan CPO paling besar seperti kosmetik, bedak, shampoo, lilin, sabun. Nilai tambah bagi kosmetik, bedak, dan shampoo berpotensi mencapai 600%, sementara lilin dan sabun mencapai 300%.
(Baca juga: Permintaan Global Belum Membaik, Gapki Estimasi Ekspor CPO Turun 5%)
Ada pun, nilai produk tersebut diprediksi mencapai US$ 3000-4000 per ton. Padahal, nilai produk CPO hanyalah sebesar US$ 800-1000 per ton. "Ini peluang yang bisa diciptakan industri turunan CPO," kata Ina.
Alternatif lain yang dapat dilakukan Indonesia ketika terjadi pelarangan CPO oleh UE adalah mencari negara tujuan ekspor lain. Ina mengatakan, ada beberapa negara berkembang yang masih menunjukkan tren permintaan impor yang besar terhadap CPO dan produk turunannya.
Beberapa negara tersebut, yakni Tiongkok, India, Pakistan, Banglades, Sri Lanka. Kemudian, Filipina, Saudi Arabia, serta Kolombia.
"Sejumlah negara-negara Afrika seperti Tanzania, Afrika Selatan, Nigeria, Madagaskar, Senegal, Kongo, Kenya, Somalia, Mesir," tambah Ina.
Indonesia juga dapat mengolah CPO menjadi biodiesel sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak. Apalagi permintaan energi semakin besar di dalam negeri.
Dampaknya, beban belanja pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak dapat berkurang dan melindungi cadangan devisa. "Meningkatkan peluang pengembangan produk-produk lain, dan menciptakan lapangan pekerjaan," lanjut Ina.
(Baca : Jokowi: Penerapan Biodiesel 20% Bisa Kerek Harga Sawit US$ 100 Per Ton)