Kalah dalam Sengketa Besi dan Baja, RI Akan Ikuti Rekomendasi WTO

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Pekerja membantu bongkar muat gulungan besi baja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/4/2018).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
20/8/2018, 20.41 WIB

Pemerintah Indonesia kembali menghadapi persoalan kebijakan perdagangan dengan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO) terkait sengketa penetapan safeguard atau tindak pengamanan pasar dalam negeri untuk komoditas besi dan baja jenis galvalume.

WTO menilai, penerapan safeguard  Indonesia tak sesuai dengan disiplin perdagangan dunia, sehingga organisasi perdagangan yang bermarkas di Jenewa, Swiss itu pada 15 Agustus 2018 lalu memenangkan Taipei dan Vietnam terkait sengketa yang terdaftar dalam Dispute Settlement (DS) 490 dan 496.

"Langkah yang diterapkan oleh Indonesia pada impor galvalume bukanlah tindak pengamanan yang tunduk pada disiplin perlindungan perdagangan WTO," bunyi pernyataan WTO dalam situs resminya seperti yang dikutip Senin (20/8).

(Baca : Buntut Sengketa Dagang, WTO juga Minta RI Merevisi 3 Undang-Undang)

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan Indonesia akan ikut rekomendasi WTO. “Kita harus patuh untuk mengubah ketentuan sesuai konklusi dan rekomendasi,” kata Oke di Jakarta, Senin (20/8).

Berdasarkan dokumen DS 490 dan 496, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) telah mengenakan bea masuk terhadap besi dan baja dengan kode Harmonization System (HS) 7210.61.11.00. Tarif  impor besi dan baja tercantum pada No. 137.1/PMK.011/2014 yang terbit pada 22 Juli 2014.

Berdasarkan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) tersebut, Indonesia meningkatkan tarif Most Favor Nation (MFN) dari 12.5% menjadi 20% pada Mei 2015. Namun, Indonesia mengecualikan kenaikan tarif untuk empat mitra dagang regional.

Keempat perjanjian dagang regional tersebut adalah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)-China Free Trade Agreement (12.5%), ASEAN-Korea Free Trade Agreement (10%), ASEAN Trade in Goods Agreement (0%), serta the Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (12.5%).

Pada 20 Agustus 2015, Taipei meminta pembentukan panel penyelidikan oleh WTO. Kemudian, tanggal 18 Agustus 2017, WTO pun mengeluarkan laporan yang menyatakan Indonesia tidak memerhatikan negara berkembang dalam penetapan tarif.

(Baca : Terancam Sanksi Rp 5,06 Triliun, RI Tunggu Putusan WTO 15 Agustus 2018)

Indonesia pun lantas mengajukan banding kepada WTO pada 28 September 2017.  Namun,  pada keputusan akhir yang diumumkan pada 15 Agustus 2018, Dewan Banding Organisasi Perdagangan Dunia (Appelate Body WTO) menyatakan Indonesia  kalah dalam sengketa pembatasan impor galvalum.

Atas kekalahan tersebut, WTO lantas memberikan rekomendasi sebagaimana yang  tertulis dalam Article I:1 GATT (General Agreement of Tariffs and Trade) 1994, “Indonesia harus melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan,"  tulis WTO.

Oke menjelaskan, rekomendasi yang diminta WTO pada prinsipnya mencakup dua hal. Pertama, penyetaraan tarif bea masuk besi dan baja kepada semua mitra dagang. Kemudian yang kedua, penghapusan peraturan, yaitu No. 137.1/PMK.011/2014.

Dengan ketentuan tersebut, Oke mengatakan Indonesia akan ikuti rekomendasi WTO. (Baca : Buntut Sengketa Hortikultura, AS Tuntut Ganti Rugi Rp 5 Triliun)