Neraca dagang Indonesia pada April 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,63 miliar, berbanding terbalik dari periode bulan sebelumnya membukukan surplus US$ 1,09 miliar.
Peningkatan impor yang signifikan jelang puasa ditambah dengan merosotnya ekspor menambah nilai merah dalam rapor perdagangan selama empat bulan pertama 2018. Tercatat pada Januari dan Februari, Indonesia mengalami defisit perdagangan dan baru sempat membaik di Maret 2018. Namun kinerja tersebut tidak dapat berlanjut di April 2018, lantaran kembali harus mengalami defisit perdagangan.
(Baca : Mengubah Tren Defisit, Neraca Dagang Maret Surplus US$ 1,09 Miliar)
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyebutkan total impor pada April 2018 mencapai US$ 16,09 miliar, naik 11,28% dibandingkan Maret 2018 yang sebesar US$ 14,46 miliar. Sementara dibandingkan dengan April 2017 , nilai impor Indonesia naik 34,68% menjadi US$ 11,28 miliar.
“Biasanya menjelang Lebaran impor cenderung naik, tapi kali ini sangat signifikan,” kata Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/5).
Kenaikan permintaan masyarakat jelang Lebaran tercermin dari struktur impor menurut barang pada April 2018, impor barang konsumsi naik paling tinggi, sebesar 25,86% dibandingkan April 2017. Meski begitu, porsi impor barang konsumsi hanya 9,39% dari keseluruhan. Lima komoditas yang paling banyak diimpor adalah pir, apel, daging beku, beras, dan bawang putih.
Sementara itu, kenaikan impor bahan baku mencapai 10,73% dan barang modal 6,59%. Porsi kedua barang dalam keseluruhan impor masing-masing 74,32% dan 16,29%. Suhariyanto optimistis kenaikan impor bahan baku dan barang modal bakal meningkatkan geliat industri. “Peningkatan impor yang besar juga antisipasi libur panjang Lebaran,” ujarnya.
BPS juga mencatat, peningkatan impor terbesar pada April 2018 terjadi dari Tiongkok US$ 858,4 juta, Amerika Serikat (AS) AS$ 160,4 juta, dan Brasil US$ 100,8 juta. Sedangkan impor dari Afrika Selaran, Arab Saudi, dan Thailand jumlahnya berkurang.
Sementara itu, nilai ekspor April 2018 sebesar US$ 14,47 miliar, turun 7,19% dibandingkan Maret 2018. Sementara jika dibandingkan dengan April 2017, nilai tersebut naik 9,01% dari US$ 13,27 miliar.
(Baca Juga : Usai Ditegur Jokowi, Mendag Menaikkan Target Ekspor Jadi 11%)
Secara bulanan, penurunan nilai ekspor Indonesia berasal dari sektor minyak dan gas sebesar 11,32% dengan kontribuisnya terhadap ekspor 8,20%, industri pengolahan minus 4,83% dengan kontribusi 73,58%, dan pertambangan dan lainnya anjlok 16,03% dengan kontribusi ekspor 16,16%. Hanya ekspor sektor pertanian yang naik 6,11% tapi porsi dalam ekspor keseluruhan hanya sebesar 2,06%.
Penurunan nilai ekspor, menurut Suhariyanto, salah satunya disebabkan fluktuasi harga minyak kelapa sawit. Ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) turun US$ 77,8 juta pada April 2018. Sementara itu, penurunan juga dialami bahan bakar mineral US$ 416,4 juta, besi dan baja US$ 167,9 juta, bijih kerak dan abu logam US$ 79,9 juta, dan perhiasan/permata US$ 71,5 juta.
Penurunan ekpor terjadi ke India, AS, dan Tiongkok. “Ada beberapa negara lain juga yang turun,” katanya. Sementara itu, peningkatan tujuan ekspor terjadi ke pasar nontradisional seperti Bangladesh, Filipina, dan Malaysia.