BPS juga mencatat, peningkatan impor terbesar pada April 2018 terjadi dari Tiongkok US$ 858,4 juta, Amerika Serikat (AS) AS$ 160,4 juta, dan Brasil US$ 100,8 juta. Sedangkan impor dari Afrika Selaran, Arab Saudi, dan Thailand jumlahnya berkurang.
Sementara itu, nilai ekspor April 2018 sebesar US$ 14,47 miliar, turun 7,19% dibandingkan Maret 2018. Sementara jika dibandingkan dengan April 2017, nilai tersebut naik 9,01% dari US$ 13,27 miliar.
(Baca Juga : Usai Ditegur Jokowi, Mendag Menaikkan Target Ekspor Jadi 11%)
Secara bulanan, penurunan nilai ekspor Indonesia berasal dari sektor minyak dan gas sebesar 11,32% dengan kontribuisnya terhadap ekspor 8,20%, industri pengolahan minus 4,83% dengan kontribusi 73,58%, dan pertambangan dan lainnya anjlok 16,03% dengan kontribusi ekspor 16,16%. Hanya ekspor sektor pertanian yang naik 6,11% tapi porsi dalam ekspor keseluruhan hanya sebesar 2,06%.
Penurunan nilai ekspor, menurut Suhariyanto, salah satunya disebabkan fluktuasi harga minyak kelapa sawit. Ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) turun US$ 77,8 juta pada April 2018. Sementara itu, penurunan juga dialami bahan bakar mineral US$ 416,4 juta, besi dan baja US$ 167,9 juta, bijih kerak dan abu logam US$ 79,9 juta, dan perhiasan/permata US$ 71,5 juta.
Penurunan ekpor terjadi ke India, AS, dan Tiongkok. “Ada beberapa negara lain juga yang turun,” katanya. Sementara itu, peningkatan tujuan ekspor terjadi ke pasar nontradisional seperti Bangladesh, Filipina, dan Malaysia.